PROFESIONALISME
PUSTAKAWAN DALAM MENINGKATKAN CITRA DIRI PUSTAKAWAN
PENDAHULUAN
Pustakawan
ternyata tidak bebas dari rasa rendah diri yang muncul akibat dari beberapa hal
yang berasal dari diri sendiri maupun pihak luar. Dalam mengatasi rasa rendah
diri, pustakawan sangat mudah terjerumus dalam pola komprehenssif yang justru
merugikan citra pustakawan sendiri. Hambatan untuk memupuk rasa percaya diri
adalah keterbatasan pustakawan. Keterbatasan disini lebih pada keterbatasan
yang bersifat dalam melihat jati diri dan bagaimana meletakkan posisi dirinya
dalam kehidupan. Untuk mengatasi itu semua perlu ada falsafah kepustakawanan
yang ada di Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pustakawan dalam memahami
falsafah kepustakawan ini tentunya mendesak sifatnya, mengingat terjadinya perkembangan
dalam masyarakat informasi yang begitu pesatnya.
Tuntutan
masyarakat informasi dengan adanya perkembangan teknologi informasi, apabila
tidak membuat pustakawan berubah dan belajar untuk meningkatkan
profesionalismenya dalam bidang kepustakawanan dan bekal tambahan keahlian
mengenai penguasaan teknologi informasi, maka perpustakaan akan tersisihkan
oleh media baru dalam pengolah informasi, seperti google. Menurut Sudarsono (2006:81-82) perlu dipikirkan oleh
pustakwan mengenai pokok terpenting yang akan dihadapi pustakawan dalam menuju
masyaakat informasi, yaitu: 1) transformasi nilai, 2) tertinggal dalam
akumulasi keahlian, 3) etos komersial, 4) fungsi pustakawan.
Melihat dari permasalahan tersebut, maka sekarang
timbul pertanyaan mengenai bagaimanakah seharusnya pustakawan dalam melihat
berbagai kondisi yang telah penulis
uraikan diatas. Sebenarnya kalau kita amati dan pelajari, bahwa
pustakawan di Indonesia masih mempunyai steriotip dan citra pustakawan yang kurang
baik, sehingga pustakawan selayaknya dapat membangun citra dirinya menjadi
lebih baik. Dalam upaya mendongkrak
citra diri pustakawan menjadi profesional dan mempunyai kompetensi di bidang
kepustakawanan, perlu memakai konsep-konsep lokal. Hal ini sependapat dengan
Cram (1993) dalam Sudarsono (2006, 83) yang menyatakan The time has come for the profession to develop positive librarianisme.
Pengembangan daya atau kekuatan pustakawan hendaknya memakai konsep-konsep
lokal. Sepertim keayakinan bangsa Maori yang mempunyai pemahaman, bahwa daya
atau kekuatannya tidak diperoleh karena posisi seseorang, namum lebih
dihasilkan karena layanannya kepada pihak lain, dan itu tidak dapat dipisahkan
dari harga diri. Beberapa hal yang perlu dilakukan terkait dengan citra diri
yaitu kerjasama, konsultasi, peningkatan pengelolaan, keramah-tamahan dan
kesabaran (Cram, 1994).
Nilai-nilai lokal
yang perlu diadopsi oleh pustakawan dalam mengembangkan citra diri, seharusnya
digunakan dalam mengembangkan perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia dalam
meningkatkan profesionalisme pustakawan dalam menjawab tantangan pustakawan ke
depan. Pustakawan tidak perlu alergi lagi dengan teknologi informasi, tidak
perlu minder saat bergabung dengan profesi lain, bahkan pustakawan mampu
menunjukkan citra dirinya dengan kompetensi yang dimilikinya, sehingga
pustakawan menjadi pribadi yang menarik, smart dan percaya diri dengan dunianya
yaitu dunia perpustakaan dan kepustakawanan.
PEMBAHASAN
Kata
pustakawan menurut Cram (1997) dalam Sudarsono (2006, 78) merujuk pada kelompok atau perorangan dengan karya atau
profesi dibidang dokumentasi, informasi dan perpustakaan. Berkaitan dengan
ranah pustakawan yang lain dapat diartikan berbagai macam pemahaman dimana
pustakawan merupakan sebuah kata yang sedang mengalami
keretakan makna, melahirkan multitafsir dan beragam persepsi. Dalam konteks
keindonesiaan, pemegang kunci jendela dunia ini, kini nasibnya tidak jauh dari
para pembuka pintu lintasan kereta. Masyarakat pun memberikan penghargaan
kepada pustakawan lebih rendah dibanding kepada profesi lain seperti dokter,
pengacara, guru, peneliti, dan lain-lain. Pemerintah pun menghargai pustakawan
sama halnya dengan masyarakat umum. Dari semua jenis fungsional yang ada,
pustakawan berada pada “kasta” yang paling rendah, tentu saja dengan tunjangan
yang paling sedikit. Padahal, yang sebenarnya secara teori diatas kertas
pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan
jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya
berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya
melalui pendidikan.
Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (1989: 713) disebutkan bahwa pustakawan adalah
orang yang bergerak di bidang perpustakaan; ahli perpustakaan. Sedangkan berdasarkan
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18, tahun
1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya dan telah
direvisi dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
132 tahun 2002, pustakawan diartikan sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diberi
tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan,
dokumentasi dan informasi instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Keputusan
MENPAN ini diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang tentang Perpustakaan No. 43
Tahun 2007. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pustakawan adalah
seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau
pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk
melaksanakan pengelolaan fasilitas layanan perpustakaan.
Profesionalisme
yang dibutuhkan dalam mengelola perpustakaan yang telah diamanatkan baik dalam
keputusan MENPAN maupun UU perpustakaan, tidak terlepas dengan tuntutan
profesionalisme pustakawan dalam mengembangkan perpustakaan. Sehingga dalam
perkembangannya pustakawan tentunya akan merubah citra diri dalam konsep diri baik
secara fisik, akademis, sosial bahkan kerohanian. Komponen secara fisik yang
dapat kita amati dari pustakawan yaitu melalui penampilan, jenis kelamin,
tinggi, berat serta kelengkapan hidup, seperti, pakaian, rumah, dan kendaraan.
Sedangkan komponen akademis berbicara tentang dua tingkat yaitu tingkat
kepandaian secara umum, dan tingkat kemampuan pada disiplin keilmuan tertentu.
Komponen sosial terlihat dari pola
pergaulan dan bermasyarakat. Komponen kerohanian menyangkut pada kehidupan
rohani dan spiritual individu.
A. Konsep Diri
Pustakawan
Konsep diri menurut Huitt
dalam Sudarsono (2006:78) ditopang oleh dua pilar yaitu self efficacy (keyakinan diri) yang berkaitan erat dengan
transformasi sosial, dimana proses tansformasi sosial menjadi salah satu perhatian pendidikan
modern saat ini. Sedangkan pilar kedua yaitu self respect dimana
keyakinan seseorang atau kemampuannya untuk berhasil. Mengaplikasi dari kedua
pilar tersebut bagi pustakawan merupakan wahana untuk dapat mengembangkan
profesionalismenya dalam menghadapi persoalan baik secara perseorangan maupun
kelompok.
Menurut Cram (1997) dalam
Sudarsono (2006:78) bahwa pustakawan harus memperhatikan beberapa pokok, antara
lain 1) steriotip pustakawan yang berarti citra umum atau sifat umum yang
dipercayai oleh kebanyakan atas kelompok
orang-orang tertentu. Steriotip pustakawan di Indonesia kebetulan dalam
posisi kurang bagus dan pustakawan mau menerima begitu saja dengan steriotip
tersebut. 2) permasalahan citra, menurut Cram ada beberapa citra yang
pustakawan keluhkan, antara lain: penampilan, dan kepribadian, serta status dan
gaji. 3) keterbatasan diri, pustakawan tidak pernah menyadari bahwa mempunyai
kemampuan sehingga menimbulkan keterbatasan diri, hal ini dipengaruhi oleh diri
sendiri maupun pihak luar.
B. Konsep Profesionalisme Pustakawan
Pustakawan diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan
profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, hakim, dokter, dan
lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Dalam “Advanced English-Indonesian Dictionary”
(1991: 658) profesi adalah sebagai suatu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan
khusus. Sementara itu “Encyclopedia of
Social Science” (1992) memberikan batasan mengenai “Professions” dilihat
dari ciri khasnya, yaitu pendidikan teknik intelektual yang diperoleh dari
pelatihan khusus yang dapat diterapkan pada beberapa suasana kehidupan
sehari-hari, yang memberikan ciri pembeda satu profesi.
Menurut Sulistyo-Basuki (1991: 148-150) ada beberapa ciri dari
suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2)
terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4)
berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Menurut Abraham Flexner
yang dikutip Achmad (2001) profesi paling tidak memiliki dan memenuhi 5 persyaratan
sebagai berikut: 1) Profesi merupakan pekerjaan intelektual, maksudnya
menggunakan intelegensi yang bebas yang diterapkan pada masalah dengan tujuan
untuk memahaminya dan menguasainya. 2) Profesi merupakan pekerjaan saintifik
berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sain. 3) Profesi merupakan pekerjaan
praktikal, artinya bukan melulu teori akademik tetapi dapat diterapkan dan
dipraktekkan. 4) Profesi terorganisasi secara sistematik. Ada standar cara
pelaksanaannya dan mempunyai tolok ukur hasilnya. 5) Profesi-profesi merupakan
pekerjaan altruism yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya bukan
kepada diri profesionalisme. Pustakawan sebagai profesi juga harus memiliki
beberapa keterampilan antara lain: 1) Adaptability pustakawan hendaknya
cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang. Sudah saatnya adaptif
memanfaatkan teknologi informasi. Pustakawan dalam memberikan informasi tidak
lagi bersandar pada buku teks dan jurnal di rak, tetapi dengan memanfaatkan
internet untuk mendapatkan informasi yang aktual bagi penggunanya. 2) People Skills (Soft Skill) pustakawan
adalah mitra intelektual yang memberikan jasa kepada pengguna. Mereka harus
lihai berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunanya. People Skills ini dapat dikembangkan
dengan membaca, mendengarkan kaset-kaset positif, berkenalan dengan orang-orang
positif, bergabung dengan organisasi positif lain dan kemudian diaplikasikan
dalam aktivitas sehari-hari. 3) Berpikir Positif ketika kita
dihadapkan pada suatu pekerjaan yang cukup besar maka pustakawan diharapkan
menjadi seorang pemenang yaitu sebagai pemenang yang berpikiran positif
sehingga jika dihadapkan pada pekerjaan besar. 4) Personal Added Value pustakawan
harus mempunyai nilai tambah, misalnya dapat mencarikan informasi yang rinci di
internet dan tahu bagaimana cara cepat mencari informasi tersebut di internet.
5) Berwawasan Enterpreneurship (Kewirausahaan) pustakawan harus sudah
mulai berwawasan enterpreneurship, maka perpustakaan secara perlahan harus
menjadi income generation unit. 6)
Team Work-Sinergi di dalam era global yang ditandai membludaknya informasi,
pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri, mereka harus membentuk team work untuk bekerja sama mengolah
informasi. Mengutip pendapat Sulistyo-Basuki (1991: 147) profesi merupakan
sebuah pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus yang
diperoleh dari teori dan bukan saja dari praktek, dan diuji dalam bentuk ujian
dari sebuah universitas atau lembaga yang berwenang serta memberikan hak pada
orang yang bersangkutan untuk berhubungan dengan klien.
Sedangkan profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang
bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional
dengan mengacu norma-norma, standar dan kode etik serta memberikan layanan yang
terbaik kepada klien. Istilah profesionalisme dikaitkan dengan penguasaan
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dalam mengelola dan melaksanakan
pekerjaan/tugas dalam bidang tertentu. Profesionalisme adalah rasa kepemilikan
akan sesuatu, yang mana dari rasa ini ia benar-benar merasa bahwa sesuatu itu
harus dijaga. Adapun profesionalisme pustakawan hanya dapat dimiliki oleh
seorang pustakawan tingkat ahli/profesional atau pustakawan yang memiliki dasar
pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana
Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi atau Sarjana bidang lain yang
disetarakan. Sedangkan profesionalisme pustakawan adalah pelaksanaan kegiatan
perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggung jawab dan pengabdian,
adapun mutu dari hasil kerja yang dilakukan tidak akan dapat dihasilkan oleh
tenaga yang bukan pustakawan, dikarenakan pustakawan yang memiliki jiwa
keprofesionalan terhadap pekerjaannya akan selalu mengembangkan kemampuan dan
keahliannya untuk memberikan hasil kerja yang lebih bermutu dan akan selalu
memberikan sumbangan yang besar kepada masyarakat pengguna perpustakaan.
Profesionalisme pustakawan tercermin pada kemampuan (pengetahuan,
pengalaman, keterampilan) dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan
pekerjaan di bidang kepustakawanan serta kegiatan terkait lainnya secara
mandiri. Kualitas hasil pekerjaan inilah yang akan menentukan profesionalisme
mereka. Pustakawan profesional dituntut menguasai bidang ilmu kepustakawanan,
memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas/pekerjaan kepustakawanan,
melaksanakan tugas/pekerjaannya dengan motivasi yang tinggi yang dilandasi oleh
sikap dan kepribadian yang menarik, demi mencapai kepuasan pengguna.
C. Sikap
Pustakawan
Dalam meningkatkan diri dan profesionalisme, seorang pustakawan di
era globalisasi seperti sekarang ini dituntut untuk bekerja secara profesional
dan mampu berkomunikasi ke segenap lapisan masyarakat. Kalau perlu pustakawan
harus beberapa langkah di depan pemakainya. Artinya, pengetahuan dan strategi
akses informasi pustakawan harus lebih canggih dari pemakainya. Pustakawan
memiliki berbagai sarana akses dan mengetahui berbagai sumber informasi serta
strategi untuk mengetahui dan mendapatkannya. Ini hanya dapat dilakukan bila
pustakawan selalu mengembangkan wawasan atau pendidikan, mengikuti pelatihan,
studibanding dan share informasi sesama pustakawan dalam maupun luar negeri
serta trampil menggunakan sarana teknologi informasi dan kemampuan komunikasi,
terutama bahasa Inggris.
Selain melayani,
pengolahan, dan pengadaan, seorang pustakawan era globalisasi juga harus mampu
memasarkan atau promosi kepada masyarakat, mampu mengikuti trend, dan berkeloga
dalam jejaring antara pustakawan atau pengunjung seperti dikatakan oleh Tilke
dalam Teguh Yudi (Pustakawan Indonesia dalam Era Globalisasi, http://libraryteguh.2009/) ciri-ciri pustakawan era globalisasi yaitu (1) Kemampuan untuk
mengikuti tren perpustakaan, (2) Kemampuan untuk bekerja di kolegial, lingkungan
jaringan untuk perpustakaan, (3) Menghargai pentingnya pemasaran/PR .
Selanjutnya pustakawan selalu menjadi yang terdepan dalam penggunaan teknologi,
menekankan perangkat tambahan bagi pengguna, dan bukan hanya teknologi untuk
kepentingan teknologi, karena pustakawan memiliki kesempatan besar untuk berbagi
informasi berharga dan bertindak sebagai pembela bagi kemajuan informasi dan teknologi.
Sedangkan Stueart dan Moran (2002) mengatakan bahwa manajer informasi atau pustakawan
dalam era informasi
seharusnya memiliki 7 (tujuh) kemampuan, yaitu:
1. Technical skill, yaitu seorang pustakawan harus memahami
proses pekerjaan bawahan. Adalah tidak mungkin mensupervisi, apabila tidak
memahami seluk beluk pekerjaan yang disupervisi tersebut.
2. Political skill,
seorang pustakawan harus memahami masalah sosial, lingkungan organisasi
internal dan eksternal, memiliki wawasan luas.
3. Analytical skills,
seorang pustakawan harus memiliki kemampuan analisis yang baik sehingga dapat
menjadi bagian dari agen perubahan.
4. Problem-solving
skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi dengan cepat, tepat dan baik.
5. People skills,
seorang pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, termasuk
komunikasi interpersonal, memahami dan peduli orang lain.
6. System skills,
seorang pustakawan harus memiliki kemampuan bekerja dalam system dan
menggunakan berbagai system jaringan dan komunikasi yang tersedia.
7. Business skill, seorang
pustakawan harus memiliki naluri bisnis dan semangat entrepreneurship yang
baik.
Koleksi yang ada merupakan aset yang harus dimanfaatkan maksimal.
Selain itu pustakawan juga harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan baru seperti
sebagai spesialis informasi, memiliki pengetahuan mandalam tentang kelompok
saran (pemakai) karena pengunjung perpustakaan terus berubah, serta pustakawan
harus mampu menciptakan dan mengimplementasikan perubahan dalam berbagai sector
atau lini di perpustakaan. Dan untuk menjadi pustakawan ideal, ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
a. Aspek profesional
Yaitu berpendidikan formal ilmu pengetahuan. Selain itu dituntut
gemar membaca, terampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas,
berorientasi ke depan, mampu menyerap ilmu lain, obyektif (berorientasi pada
data), tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu dipihak lain, berwawasan
lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi,
berkarya di bidang kepustakawanan dan mampu melaksanakan penelitian serta
penyuluhan.
b. Aspek kepribadian dan
perilaku
Pustakawan Indonesia harus bertakwa kepada Tuhan YME, bermoral
Pancasila, mempunyai tanggungjawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos
kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes,
komunikasi dan sikap suka melayani, ramah dan simpatik, terbuka terhadap kritik
dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, berdisiplin tinggi dan menjunjung tinggi etika
pustakawan Indonesia.
Secara umum kita dapat
mengatakan bahwa yang diperlukan untuk membangun citra adalah kompetensi
kepakaran kita yang dibentuk oleh dua hal yaitu hard skill dan soft
skill. Dalam penerapannya, pada poin pertama lebih bersifat scientific
achievement, sedangkan yang kedua bersifat psychological achievement.
Dimana yang pertama berkenaan dengan
penguasaan teknis dan detail bidang perpusakaan dan kepustakawanan. Sedangkan yang
kedua berkaitan dengan kemampuan
berpikir strategis sebagai perumus kebijakan, wawasan masa depan (forward looking),
dan kemampuan perencanaan strategis, kemampuan perencanaan strategis, kemampuan
manajerial, kemampuan komunikasi publik, dan lainnya. Jadi bukan hal yang mustahil
bahwa citra diri pustakawan ideal akan menjadi milik pustakawan Indonesia.
PENUTUP
Pustakawan sudah saatnya
mengurangi wacana yang menguras energi mengenai steriotip yang melekat dalam
masyarakat yang diciptakan sendiri oleh pustakawan, mengenai citra diri
pustakawan. Melihat kompetensi yang kita miliki seharusnya pustakawan mampu
mengembangkan perpustakaan lebih baik dan dapat mengadopsi perkembangan
teknologi informasi sebagai media untuk belajar dan menambah wawasan demi
kepentingan kebutuhan pemustaka perpustakaan.
Profesionalisme yang
dimiliki semestinya menjadikan pustakawan bebas dari rasa rendah diri sendiri
atau dari pihak luar. Dengan adanya aspek profesi dan kepribadian dan perilaku
seharusnya citra pustakawan dapat menjadi lebih baik dan pustakawan dapat
mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kompetensi atau kapasitas diri secara
maksimal. Untuk itu ada beberapa hal yang bisa pustakawan lakukan, yaitu Pertama,
memperluas wawasan makro kita tentang persoalan bangsa. Kedua,
meningkatkan frekuensi keterlibatan pustakawan dalam dunia pendidikan, literasi
dan sosial. Ketiga, meningkatkan kemampuan kita mempengaruhi oprang
lain. Keempat, memperbanyak figur publik pustakawan agar dapat dikenal
masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Cram, Jenifer (1993) Mana, Manna, Manner: Power and The
Practiceof Librarianship. Keynote address pada New Zealand Library and
Information Association Conferences: Wakakotahitanga-Bridging The Gap. Tarangga
3-7 October, 1993. Tersedia Online pada http//www.alia.org.au/~jeram/mana
manna manner,html.
Cram, Jenifer (1994) When Antas Carray Elephants: Applyingt the
Wisdom of Indigenour Peoples to Library Leadership.. Keynote address 1994
LAMA President’s Program American Library Association Conference. Miami Beach,
Florida 26 June 1994. Tersedia Online pada http//www.alia.org.au/~jeram/when
ants carry elephants,html.
Cram, Jenifer (1997) Love an Joy and Satisfaction in
Librarianship. Naskah asli terbit dalam Australian Public Libraries and
Information Services. June 1991 dan issues 17 August 1991. Tersedia Online pada
http//www.alia.org.au/~jeram/selft love,html.
Depdiknas RI. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. 2.
Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Peter. (1991). Advanced English-Indonesian Dictionary.
3 rd Ed. Jakarta: Modern English Press.
Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi
Kepustakawanan Indonesia. Jakarta:CV. Sagung Seto.
Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Cet. 1.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yudi, Teguh. (2009). Pustakawan Indonesia Di Era Globalisasi.
http://libraryteguh.