Senin, 14 Desember 2015



PROFESIONALISME PUSTAKAWAN DALAM MENINGKATKAN CITRA DIRI PUSTAKAWAN


PENDAHULUAN
Pustakawan ternyata tidak bebas dari rasa rendah diri yang muncul akibat dari beberapa hal yang berasal dari diri sendiri maupun pihak luar. Dalam mengatasi rasa rendah diri, pustakawan sangat mudah terjerumus dalam pola komprehenssif yang justru merugikan citra pustakawan sendiri. Hambatan untuk memupuk rasa percaya diri adalah keterbatasan pustakawan. Keterbatasan disini lebih pada keterbatasan yang bersifat dalam melihat jati diri dan bagaimana meletakkan posisi dirinya dalam kehidupan. Untuk mengatasi itu semua perlu ada falsafah kepustakawanan yang ada di Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pustakawan dalam memahami falsafah kepustakawan ini tentunya mendesak sifatnya, mengingat terjadinya perkembangan dalam masyarakat informasi yang begitu pesatnya.
Tuntutan masyarakat informasi dengan adanya perkembangan teknologi informasi, apabila tidak membuat pustakawan berubah dan belajar untuk meningkatkan profesionalismenya dalam bidang kepustakawanan dan bekal tambahan keahlian mengenai penguasaan teknologi informasi, maka perpustakaan akan tersisihkan oleh media baru dalam pengolah informasi, seperti google. Menurut Sudarsono (2006:81-82) perlu dipikirkan oleh pustakwan mengenai pokok terpenting yang akan dihadapi pustakawan dalam menuju masyaakat informasi, yaitu: 1) transformasi nilai, 2) tertinggal dalam akumulasi keahlian, 3) etos komersial, 4) fungsi pustakawan.
Melihat  dari permasalahan tersebut, maka sekarang timbul pertanyaan mengenai bagaimanakah seharusnya pustakawan dalam melihat berbagai kondisi yang telah penulis  uraikan diatas. Sebenarnya kalau kita amati dan pelajari, bahwa pustakawan di Indonesia masih mempunyai steriotip dan citra pustakawan yang kurang baik, sehingga pustakawan selayaknya dapat membangun citra dirinya menjadi lebih baik.  Dalam upaya mendongkrak citra diri pustakawan menjadi profesional dan mempunyai kompetensi di bidang kepustakawanan, perlu memakai konsep-konsep lokal. Hal ini sependapat dengan Cram (1993) dalam Sudarsono (2006, 83) yang menyatakan The time has come for the profession to develop positive librarianisme. Pengembangan daya atau kekuatan pustakawan hendaknya memakai konsep-konsep lokal. Sepertim keayakinan bangsa Maori yang mempunyai pemahaman, bahwa daya atau kekuatannya tidak diperoleh karena posisi seseorang, namum lebih dihasilkan karena layanannya kepada pihak lain, dan itu tidak dapat dipisahkan dari harga diri. Beberapa hal yang perlu dilakukan terkait dengan citra diri yaitu kerjasama, konsultasi, peningkatan pengelolaan, keramah-tamahan dan kesabaran (Cram, 1994).
Nilai-nilai lokal yang perlu diadopsi oleh pustakawan dalam mengembangkan citra diri, seharusnya digunakan dalam mengembangkan perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia dalam meningkatkan profesionalisme pustakawan dalam menjawab tantangan pustakawan ke depan. Pustakawan tidak perlu alergi lagi dengan teknologi informasi, tidak perlu minder saat bergabung dengan profesi lain, bahkan pustakawan mampu menunjukkan citra dirinya dengan kompetensi yang dimilikinya, sehingga pustakawan menjadi pribadi yang menarik, smart dan percaya diri dengan dunianya yaitu dunia perpustakaan dan kepustakawanan.

PEMBAHASAN
            Kata pustakawan menurut Cram (1997) dalam Sudarsono (2006, 78) merujuk pada  kelompok atau perorangan dengan karya atau profesi dibidang dokumentasi, informasi dan perpustakaan. Berkaitan dengan ranah pustakawan yang lain dapat diartikan berbagai macam pemahaman dimana pustakawan merupakan sebuah kata yang sedang mengalami keretakan makna, melahirkan multitafsir dan beragam persepsi. Dalam konteks keindonesiaan, pemegang kunci jendela dunia ini, kini nasibnya tidak jauh dari para pembuka pintu lintasan kereta. Masyarakat pun memberikan penghargaan kepada pustakawan lebih rendah dibanding kepada profesi lain seperti dokter, pengacara, guru, peneliti, dan lain-lain. Pemerintah pun menghargai pustakawan sama halnya dengan masyarakat umum. Dari semua jenis fungsional yang ada, pustakawan berada pada “kasta” yang paling rendah, tentu saja dengan tunjangan yang paling sedikit. Padahal, yang sebenarnya secara teori diatas kertas pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1989: 713) disebutkan bahwa pustakawan adalah orang yang bergerak di bidang perpustakaan; ahli perpustakaan. Sedangkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18, tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya dan telah direvisi dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132 tahun 2002, pustakawan diartikan sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Keputusan MENPAN ini diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang tentang Perpustakaan No. 43 Tahun 2007. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan fasilitas layanan perpustakaan.
Profesionalisme yang dibutuhkan dalam mengelola perpustakaan yang telah diamanatkan baik dalam keputusan MENPAN maupun UU perpustakaan, tidak terlepas dengan tuntutan profesionalisme pustakawan dalam mengembangkan perpustakaan. Sehingga dalam perkembangannya pustakawan tentunya akan merubah citra diri dalam konsep diri baik secara fisik, akademis, sosial bahkan kerohanian. Komponen secara fisik yang dapat kita amati dari pustakawan yaitu melalui penampilan, jenis kelamin, tinggi, berat serta kelengkapan hidup, seperti, pakaian, rumah, dan kendaraan. Sedangkan komponen akademis berbicara tentang dua tingkat yaitu tingkat kepandaian secara umum, dan tingkat kemampuan pada disiplin keilmuan tertentu. Komponen sosial  terlihat dari pola pergaulan dan bermasyarakat. Komponen kerohanian menyangkut pada kehidupan rohani dan spiritual individu.


A.    Konsep Diri Pustakawan
Konsep diri menurut Huitt dalam Sudarsono (2006:78) ditopang oleh dua pilar yaitu self efficacy (keyakinan diri) yang berkaitan erat dengan transformasi sosial, dimana proses tansformasi sosial   menjadi salah satu perhatian pendidikan modern saat ini. Sedangkan pilar kedua yaitu self respect  dimana keyakinan seseorang atau kemampuannya untuk berhasil. Mengaplikasi dari kedua pilar tersebut bagi pustakawan merupakan wahana untuk dapat mengembangkan profesionalismenya dalam menghadapi persoalan baik secara perseorangan maupun kelompok.
Menurut Cram (1997) dalam Sudarsono (2006:78) bahwa pustakawan harus memperhatikan beberapa pokok, antara lain 1) steriotip pustakawan yang berarti citra umum atau sifat umum yang dipercayai oleh kebanyakan atas kelompok  orang-orang tertentu. Steriotip pustakawan di Indonesia kebetulan dalam posisi kurang bagus dan pustakawan mau menerima begitu saja dengan steriotip tersebut. 2) permasalahan citra, menurut Cram ada beberapa citra yang pustakawan keluhkan, antara lain: penampilan, dan kepribadian, serta status dan gaji. 3) keterbatasan diri, pustakawan tidak pernah menyadari bahwa mempunyai kemampuan sehingga menimbulkan keterbatasan diri, hal ini dipengaruhi oleh diri sendiri maupun pihak luar.  

B.     Konsep Profesionalisme Pustakawan
Pustakawan diakui sebagai suatu jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru, dosen, hakim, dokter, dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan. Dalam “Advanced English-Indonesian Dictionary” (1991: 658) profesi adalah sebagai suatu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan khusus. Sementara itu “Encyclopedia of Social Science” (1992) memberikan batasan mengenai “Professions” dilihat dari ciri khasnya, yaitu pendidikan teknik intelektual yang diperoleh dari pelatihan khusus yang dapat diterapkan pada beberapa suasana kehidupan sehari-hari, yang memberikan ciri pembeda satu profesi.
Menurut Sulistyo-Basuki (1991: 148-150) ada beberapa ciri dari suatu profesi seperti (1) adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian, (2) terdapat pola pendidikan yang jelas, (3) adanya kode etik profesi, (4) berorientasi pada jasa, (5) adanya tingkat kemandirian. Menurut Abraham Flexner yang dikutip Achmad (2001) profesi paling tidak memiliki dan memenuhi 5 persyaratan sebagai berikut: 1) Profesi merupakan pekerjaan intelektual, maksudnya menggunakan intelegensi yang bebas yang diterapkan pada masalah dengan tujuan untuk memahaminya dan menguasainya. 2) Profesi merupakan pekerjaan saintifik berdasarkan pengetahuan yang berasal dari sain. 3) Profesi merupakan pekerjaan praktikal, artinya bukan melulu teori akademik tetapi dapat diterapkan dan dipraktekkan. 4) Profesi terorganisasi secara sistematik. Ada standar cara pelaksanaannya dan mempunyai tolok ukur hasilnya. 5) Profesi-profesi merupakan pekerjaan altruism yang berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya bukan kepada diri profesionalisme. Pustakawan sebagai profesi juga harus memiliki beberapa keterampilan antara lain: 1) Adaptability pustakawan hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang. Sudah saatnya adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Pustakawan dalam memberikan informasi tidak lagi bersandar pada buku teks dan jurnal di rak, tetapi dengan memanfaatkan internet untuk mendapatkan informasi yang aktual bagi penggunanya. 2)          People Skills (Soft Skill) pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasa kepada pengguna. Mereka harus lihai berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunanya. People Skills ini dapat dikembangkan dengan membaca, mendengarkan kaset-kaset positif, berkenalan dengan orang-orang positif, bergabung dengan organisasi positif lain dan kemudian diaplikasikan dalam aktivitas sehari-hari. 3) Berpikir Positif ketika kita dihadapkan pada suatu pekerjaan yang cukup besar maka pustakawan diharapkan menjadi seorang pemenang yaitu sebagai pemenang yang berpikiran positif sehingga jika dihadapkan pada pekerjaan besar. 4) Personal Added Value pustakawan harus mempunyai nilai tambah, misalnya dapat mencarikan informasi yang rinci di internet dan tahu bagaimana cara cepat mencari informasi tersebut di internet. 5) Berwawasan Enterpreneurship (Kewirausahaan) pustakawan harus sudah mulai berwawasan enterpreneurship, maka perpustakaan secara perlahan harus menjadi income generation unit. 6) Team Work-Sinergi di dalam era global yang ditandai membludaknya informasi, pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri, mereka harus membentuk team work untuk bekerja sama mengolah informasi. Mengutip pendapat Sulistyo-Basuki (1991: 147) profesi merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari teori dan bukan saja dari praktek, dan diuji dalam bentuk ujian dari sebuah universitas atau lembaga yang berwenang serta memberikan hak pada orang yang bersangkutan untuk berhubungan dengan klien.
Sedangkan profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional dengan mengacu norma-norma, standar dan kode etik serta memberikan layanan yang terbaik kepada klien. Istilah profesionalisme dikaitkan dengan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dalam mengelola dan melaksanakan pekerjaan/tugas dalam bidang tertentu. Profesionalisme adalah rasa kepemilikan akan sesuatu, yang mana dari rasa ini ia benar-benar merasa bahwa sesuatu itu harus dijaga. Adapun profesionalisme pustakawan hanya dapat dimiliki oleh seorang pustakawan tingkat ahli/profesional atau pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan. Sedangkan profesionalisme pustakawan adalah pelaksanaan kegiatan perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggung jawab dan pengabdian, adapun mutu dari hasil kerja yang dilakukan tidak akan dapat dihasilkan oleh tenaga yang bukan pustakawan, dikarenakan pustakawan yang memiliki jiwa keprofesionalan terhadap pekerjaannya akan selalu mengembangkan kemampuan dan keahliannya untuk memberikan hasil kerja yang lebih bermutu dan akan selalu memberikan sumbangan yang besar kepada masyarakat pengguna perpustakaan.
Profesionalisme pustakawan tercermin pada kemampuan (pengetahuan, pengalaman, keterampilan) dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan pekerjaan di bidang kepustakawanan serta kegiatan terkait lainnya secara mandiri. Kualitas hasil pekerjaan inilah yang akan menentukan profesionalisme mereka. Pustakawan profesional dituntut menguasai bidang ilmu kepustakawanan, memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas/pekerjaan kepustakawanan, melaksanakan tugas/pekerjaannya dengan motivasi yang tinggi yang dilandasi oleh sikap dan kepribadian yang menarik, demi mencapai kepuasan pengguna.

C.  Sikap Pustakawan
Dalam meningkatkan diri dan profesionalisme, seorang pustakawan di era globalisasi seperti sekarang ini dituntut untuk bekerja secara profesional dan mampu berkomunikasi ke segenap lapisan masyarakat. Kalau perlu pustakawan harus beberapa langkah di depan pemakainya. Artinya, pengetahuan dan strategi akses informasi pustakawan harus lebih canggih dari pemakainya. Pustakawan memiliki berbagai sarana akses dan mengetahui berbagai sumber informasi serta strategi untuk mengetahui dan mendapatkannya. Ini hanya dapat dilakukan bila pustakawan selalu mengembangkan wawasan atau pendidikan, mengikuti pelatihan, studibanding dan share informasi sesama pustakawan dalam maupun luar negeri serta trampil menggunakan sarana teknologi informasi dan kemampuan komunikasi, terutama bahasa Inggris.
 Selain melayani, pengolahan, dan pengadaan, seorang pustakawan era globalisasi juga harus mampu memasarkan atau promosi kepada masyarakat, mampu mengikuti trend, dan berkeloga dalam jejaring antara pustakawan atau pengunjung seperti dikatakan oleh Tilke dalam Teguh Yudi (Pustakawan Indonesia dalam Era Globalisasi, http://libraryteguh.2009/) ciri-ciri pustakawan era globalisasi yaitu (1) Kemampuan untuk mengikuti tren perpustakaan, (2) Kemampuan untuk bekerja di kolegial, lingkungan jaringan untuk perpustakaan, (3) Menghargai pentingnya pemasaran/PR . Selanjutnya pustakawan selalu menjadi yang terdepan dalam penggunaan teknologi, menekankan perangkat tambahan bagi pengguna, dan bukan hanya teknologi untuk kepentingan teknologi, karena pustakawan memiliki kesempatan besar untuk berbagi informasi berharga dan bertindak sebagai pembela bagi kemajuan informasi dan teknologi. Sedangkan Stueart dan Moran (2002) mengatakan   bahwa   manajer   informasi   atau   pustakawan   dalam   era   informasi


seharusnya memiliki 7 (tujuh) kemampuan, yaitu:
 1. Technical skill, yaitu seorang pustakawan harus memahami proses pekerjaan bawahan. Adalah tidak mungkin mensupervisi, apabila tidak memahami seluk beluk pekerjaan yang disupervisi tersebut.
2.   Political skill, seorang pustakawan harus memahami masalah sosial, lingkungan organisasi internal dan eksternal, memiliki wawasan luas.
3.   Analytical skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan analisis yang baik sehingga dapat menjadi bagian dari agen perubahan.
4.   Problem-solving skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan cepat, tepat dan baik.
5.   People skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, termasuk komunikasi interpersonal, memahami dan peduli orang lain.
6.   System skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan bekerja dalam system dan menggunakan berbagai system jaringan dan komunikasi yang tersedia.
7.   Business skill, seorang pustakawan harus memiliki naluri bisnis dan semangat entrepreneurship yang baik.
Koleksi yang ada merupakan aset yang harus dimanfaatkan maksimal. Selain itu pustakawan juga harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan baru seperti sebagai spesialis informasi, memiliki pengetahuan mandalam tentang kelompok saran (pemakai) karena pengunjung perpustakaan terus berubah, serta pustakawan harus mampu menciptakan dan mengimplementasikan perubahan dalam berbagai sector atau lini di perpustakaan. Dan untuk menjadi pustakawan ideal, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
a.   Aspek profesional
Yaitu berpendidikan formal ilmu pengetahuan. Selain itu dituntut gemar membaca, terampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke depan, mampu menyerap ilmu lain, obyektif (berorientasi pada data), tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu dipihak lain, berwawasan lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawanan dan mampu melaksanakan penelitian serta penyuluhan.
b.   Aspek kepribadian dan perilaku
Pustakawan Indonesia harus bertakwa kepada Tuhan YME, bermoral Pancasila, mempunyai tanggungjawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikasi dan sikap suka melayani, ramah dan simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berdisiplin tinggi dan menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia.     
  Secara umum kita dapat mengatakan bahwa yang diperlukan untuk membangun citra adalah kompetensi kepakaran kita yang dibentuk oleh dua hal yaitu hard skill dan soft skill. Dalam penerapannya, pada poin pertama lebih bersifat scientific achievement, sedangkan yang kedua bersifat psychological achievement. Dimana yang pertama berkenaan dengan penguasaan teknis dan detail bidang perpusakaan dan kepustakawanan. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan kemampuan berpikir strategis sebagai perumus kebijakan, wawasan masa depan (forward looking), dan kemampuan perencanaan strategis, kemampuan perencanaan strategis, kemampuan manajerial, kemampuan komunikasi publik, dan lainnya. Jadi bukan hal yang mustahil bahwa citra diri pustakawan ideal akan menjadi milik pustakawan Indonesia.

PENUTUP
Pustakawan sudah saatnya mengurangi wacana yang menguras energi mengenai steriotip yang melekat dalam masyarakat yang diciptakan sendiri oleh pustakawan, mengenai citra diri pustakawan. Melihat kompetensi yang kita miliki seharusnya pustakawan mampu mengembangkan perpustakaan lebih baik dan dapat mengadopsi perkembangan teknologi informasi sebagai media untuk belajar dan menambah wawasan demi kepentingan kebutuhan pemustaka perpustakaan.
Profesionalisme yang dimiliki semestinya menjadikan pustakawan bebas dari rasa rendah diri sendiri atau dari pihak luar. Dengan adanya aspek profesi dan kepribadian dan perilaku seharusnya citra pustakawan dapat menjadi lebih baik dan pustakawan dapat mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kompetensi atau kapasitas diri secara maksimal. Untuk itu ada beberapa hal yang bisa pustakawan lakukan, yaitu Pertama, memperluas wawasan makro kita tentang persoalan bangsa. Kedua, meningkatkan frekuensi keterlibatan pustakawan dalam dunia pendidikan, literasi dan sosial. Ketiga, meningkatkan kemampuan kita mempengaruhi oprang lain. Keempat, memperbanyak figur publik pustakawan agar dapat dikenal masyarakat luas.



















DAFTAR PUSTAKA

Cram, Jenifer (1993) Mana, Manna, Manner: Power and The Practiceof Librarianship. Keynote address pada New Zealand Library and Information Association Conferences: Wakakotahitanga-Bridging The Gap. Tarangga 3-7 October, 1993. Tersedia Online pada http//www.alia.org.au/~jeram/mana manna manner,html.
Cram, Jenifer (1994) When Antas Carray Elephants: Applyingt the Wisdom of Indigenour Peoples to Library Leadership.. Keynote address 1994 LAMA President’s Program American Library Association Conference. Miami Beach, Florida 26 June 1994. Tersedia Online pada http//www.alia.org.au/~jeram/when ants carry elephants,html.
Cram, Jenifer (1997) Love an Joy and Satisfaction in Librarianship. Naskah asli terbit dalam Australian Public Libraries and Information Services. June 1991 dan issues 17 August 1991. Tersedia Online pada http//www.alia.org.au/~jeram/selft love,html.
Depdiknas RI. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Salim, Peter. (1991). Advanced English-Indonesian Dictionary. 3 rd Ed. Jakarta: Modern English Press.
Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta:CV. Sagung Seto.
Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Cet. 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yudi, Teguh. (2009). Pustakawan Indonesia Di Era Globalisasi. http://libraryteguh.