Kamis, 19 Januari 2012

INTRAPRENEURSHIP PUSTAKAWAN

Dalam sumber di website mengatakan, bahwa intrapreneurship adalah, ”Entrepreneurship practiced by people within established organisations.” Sikap atau jiwa entrepreneurship diperlukan ketika organisasi mengalami perubahan atau tantangan untuk berkembang. Kesempatan ini membuat staf akan mempunyai motivasi untuk mencari  terobosan baru dalam berkarya sesuai bidang tugasnya. Lebih dari itu seorang pegawai tentunya akan menunjukkan kompetensinya dengan sepenuh jiwa dan sikap pantang menyerah, dan mereka juga tidak akan gentar dengan kegagalan. Sikap pantang menyerah dan terus berusaha inilah yang dimiliki oleh seseorang yang berjiwa dan bersikap entrepreneurship.
Sedangkan pengertian intrapreneurship adalah sikap dan jiwa entrepreneurship yang harus dimiliki seseorang, semacam internal driven seseorang yang mampu bekerja mandiri dalam suatu unit/organisasi. Misalnya, di perpustakaan, pustakawan atau staf yang telah berjiwa dan bersikap intrapreneurship akan mampu bekerja mandiri baik dalam menyelesaikan tugas perseorangan maupun di dalam tim kerja. Sehingga mereka akan mampu dan mau mendayagunakan semua sumber daya di dalam lingkup perpustakaan, yang dipadu dengan kecerdasan dan keterampilan yang dimiliki untuk menampilkan kinerja pribadi yang baik.

Ciri yang mudah dilihat ialah bahwa pustakawan tersebut kreatif dan penuh inisiatif dalam mengerjakan tugasnya sehari-hari.  Kemandirian yang dimiliki oleh seorang pustakawan dapat tercapai apabila mempunyai tiga komponen yaitu
1. kompetensi, 
2. komitmen, 
3. intrapreneurship
Ketiga komponen tersebut harus dapat terintegrasi dengan baik di dalam pribadi seorang pustakawan, yaitu kekuatan fisik dan mental yang dimiliki sehingga mereka mampu mandiri dalam menjalankan pekerjaannya. Kemandirian adalah, ”Seseorang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk mewujudkan keinginan dirinya yang terlihat dari tindakan nyata untuk menghasilkan barang/jasa demi pemenuhan kehidupan diri dan sesama.” (Gea, Wulandari, Babari, 2003, h. 195).

Kemandirian ini akan menyebabkan seseorang mampu berkreasi dan berinovasi, sehingga apabila kedua kasus di atas terjadi pasti penyelesaiannya tidak seperti itu dan keluhan tidak akan muncul ke perpustakaan. Pustakawan tersebut pasti dapat menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dengan baik sehingga mereka dan pemustaka sama- sama merasa puas. 
Ciri kemandirian adalah percaya diri, mampu bekerja sendiri, menguasai keahlian dan keterampilan sesuai dengan pekerjaan, menghargai waktu dan tanggung jawab.

Pustakawan Mandiri
Posisi perpustakaan biasanya berada di bawah organisasi induknya, misalnya universitas atau institusi tertentu, sehingga kompetensi juga harus ditentukan berdasar hierarki tersebut. Jadi, kompetensi seseorang terdiri dari beberapa komponen berikut.

1. Kompetensi Umum (Core Competence)
    kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap karyawan universitas/institusi tersebut agar mereka dapat 
    berkinerja baik. Terdiri dari :
    a. Pengetahuan tentang organisasi induk (Business Acumen);
    b. Mengutamakan Pengguna (Customer Orientation);
    c. Kepemimpinan (Leadership);
    d. Perencanaan dan Monitoring  (Planning & Organizing);
    e. Komitmen (Meeting Commitments);
    f. Inovasi (Innovation);
    g. Kerja sama Tim (Teamwork);
    h. Komunikasi (Communication).

2. Technical General Competencies
     Karena perpustakaan berada di bawah Drektorat tertentu, maka kriteria Direktorat tersebut juga harus   
     dimasukkan, misalnya :
     a. Penguasaan Komputer;
     b. Kemampuan berbahasa Inggris (English Proficiency)
     c. Sadar Biaya (Cost Awareness)
     d. Modeling (analisis kegiatan/ proses)
     e. Memahami Proses Bisnis (Business Process)

3. Technical Specific Competencies
    Dalam lingkup unit, kompetensi khusus yang ditetapkan misalnya, untuk Sub Unit Pengolahan 
    dan Perawatan Bahan Pustaka akan diperlakukan kompetensi berikut.
    a. Keterampilan Pengelolaan Perpustakaan (Basic Library Skill);
    b. Menguasai Informasi (Information Literacy);
    c. Mengkatalog (Cataloguing);
    d.
Penjilidan (Binding);
    e. Weeding

Daftar Pustaka
Gea, A.a.; Wulandari, A.P.Y; Babari, Yohanes. Character Building I : Relasi dengan Sendiri. Jakarta : PT 
           Gramedia, 2003.

Jumat, 13 Januari 2012

STANDAR KOMPETENSI PUSTAKAWAN

         Topik ini baru hangat-hangatnya jadi pembicaraan di dunia kepustakawanan bahkan sudah diadakan Konvensi Nasional Standarisasi Kompetensi Pustakawan yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional RI dengan meminta masukan akademisi dan praktisi yang berkecimpung di dalam dunia perpustakaan, membuat penulis merasa tergelitik untuk ikut mewacanakan dalam blog ini.
          Dari banyak tulisan, penulis mencoba menterjemahkan apa yang menjadi wacana mengenai standar kompetensi pustakawan, salah satunya dalam http://googleblog-library.blogspot.com/2011/05/standar-kompetensi-pustakawan-setelah.html, dikupas mengenai standar kompetensi pustakawan. Sedangkan dalam pembicaraan di facebook pun dengan para praktisi termasuk bapak Blasius Sudarsono, bisa kita perhatikan beberapa point terkait dengan adanya standar kompetensi pustakawan dalam wujud sertifikasi. 
       Dalam perbincangan tersebut perlunya kita  dapat membuktikan diri, apakah kita pustakawan benar-benar sudah mempunyai kompetensi sesuai dengan yang dipersyaratkan sebagai yang tercantum di dalam standar kompetensi pustakawan? sehingga perlunya kita mempelajari dan memilih point-point mana yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Referensi mengenai standar kompetensi tersebut dapat diakses di: http://www.loc.gov/flicc/publications/Lib_Compt/2011/2011Competencies.pdf.
         Sebelum berbicara masalah sertifikasi, maka kita pahami dahulu pengertian sertifikasi, menurut Blasius Sudarsono sertifikasi merupakan proses yang harus ditempuh untuk mendapatkan sertfikasi.  Dalam proses inilah seseorang harus membuktikan dirinya telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Setelah mendapatkan sertifikat itulah dia baru berhak dan berwenang menjalankan profesinya. Demikian juga dengan sertifikat pustakawan, baru akan diperoleh jika seseorang telah dapat membuktikan dirinya memiliki kompetensi yang dipersyaratkan sebagai pustakawan (standar kompetensi pustakawan).
Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Arti lain dari kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang  dimiliki seseorang serta penerapannya di dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan.
Berdasarkan dari pengertian tersebut, maka standar kompetensi pustakawan merupakan suatu pernyataan tentang kriteria yang dipersyaratkan, ditetapkan dan disepakati bersama dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap bagi seorang pustakawan sehingga layak disebut kompeten. Dengan adanya standar kompetensi pustakawan diharapkan sebagai jaminan pemberian layanan prima terhadap pemustaka, menciptakan suasana perpustakaan yang kondusif, memberikan keteladanan dan menjaga nama baik lembaga dan kedudukannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.


Kamis, 05 Januari 2012

Peran Pustakawan dalam Meningkatkan Citra Perpustakaan Perguruan Tinggi

PENDAHULUAN
Citra merupakan  kesan imajinatif yang terbentuk dalam benak publik dalam rentang waktu tertentu dan terbentuk oleh keseluruhan informasi tentang diri kita yang sampai ke publik (Hoeroestijati, 2010:3). Sedangkan citra suatu perpustakaan dapat dikatakan sebagai suatu pandangan yang diberikan oleh masyarakat tentang sebuah institusi perpustakaan. Dalam institusi perpustakaan yang merupakan organisasi profesional dan selayaknya diurus oleh pustakawan yang juga profesional, maka pustakawan harus  mampu memperoleh kesan (image) dari pemustaka sebagai kesan yang baik.  Kesan baik yang diciptakan oleh pustakawan dalam memberikan pelayanan kepada pemustaka merupakan wujud komitmen pustakawan dalam menjalankan profesinya sebagai seorang pustakawan dalam  rangka menjalankan tugas kepustakawanannya.   Kesan yang baik dapat diciptakan dengan memberikan nilai lebih dalam melakukan pelayanan kepada pemustaka. Wujud nyata dalam melakukan pelayanan kepada pemustaka dapat dilakukan oleh pustakawan dengan memberikan pelayanan yang optimal sesuai kebutuhan pemustaka.

Untuk mengimplementasikan kesan pustakawan yang baik, maka pustakawan dapat melakukan berbagai cara, antara lain: pustakawan harus mempunyai sikap dan perilaku yang baik dan berorientasi kepada kebutuhan pelanggan dengan memberikan hal-hal  yang   positif   sesuai  dengan standar  yang  telah  ditetapkan  oleh perpustakaan, disamping itu perlunya pemahaman diri pustakawan dalam memberikan kepuasan kepada pemustaka, bahwa pemustaka dianggap penting sehingga pustakawan akan menyadari betapa pemustaka merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhanya.

           Hal lain yang perlu jadi perhatian bagi pustakawan dalam meningkatkan citra yaitu pustakawan harus mampu membaca kebutuhan pemustaka, pustakawan dalam menyediakan informasi kepada pemustaka harus sesuai dengan kebutuhan pemustaka, hal itu bisa diukur berdasarkan dari indikator yang dibuat oleh pustakawan melalui penelitian tentang kepuasan pemustaka yang dilakukan secara rutin, pustakawan juga harus meningkatkan kompetensinya dan keprofesionalannya guna meningkatkan kualitas kinerja di perpustakaan. 
Keprofesionalan pustakawan sangat tergantung dengan kemauan  diri pribadi pustakawan dalam mengembangkan diri dan membangun citra diri (image branding) yang saat ini sudah menjadi keharusan bagi pustakawan agar pengakuan status profesi kepustakwanannya dinilai oleh masyarakat yang dilayaninya. Citra pustakwan sangat ditentukan oleh kinerja pustakawan.  Dan kinerja sangat tergantung pada kompetensi atau kapasitas internal yang dimiliki, jadi untuk membangun citra pustakawan yang baik hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki kinerja dengan membentuk citra diri positif  pustakawan. Dengan citra positif pustakawannya, maka citra perpustakaan akan meningkat dengan sendirinya.
Perpustakaan merupakan salah satu sarana pembelajaran dengan tujuan mencerdaskan bangsa mempunyai peranan penting sebagai jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan yang sekaligus menjadikan perpustakaan sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan dan mengasyikkan. Oleh karena itu perlu dibangun citra perpustakaan agar dapat berkembang dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna pada era globalisasi ini. Dengan membangun citra yang positif, keberadaan  perpustakaan akan membawa dan mengembangkan citra institusinya. Dalam mengembangkan citra, perpustakaan berusaha meningkatkan layanan yang sesuai standar yang telah ditetapkan, khususnya perpustakaan perguruan tinggi.
Perpustakaan perguruan tinggi  adalah perpustakaan yang melayani para mahasiswa, dosen, dan karyawan. Perpustakaan perguruan tinggi didirikan dengan tujuan untuk mendukung, memperlancar, dan meningkatkan kualitas pelaksanaan program Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui pelayanan informasi kepada sivitas akademika yang dilayaninya. Dalam pelayanan kepada masyarakat sivitas akademika,  perpustakaan perguruan tinggi akan selalu meningkatkan kualitas layanan, maupun unsur pustakawannya. Oleh karena itu perpustakaan harus mampu memberikan citra yang positif agar selalu sukses dalam berinteraksi denngan masyarakat yang dilayaninya. Dengan Citra yang negatif, maka akan dapat memperlemah dan merusak strategi yang telah dibangun dengan susah payah oleh pustakawan. Sedangkan citra positif bisa didapat dengan mengkomunikasikan keunikan dan kualitas terbaik yang dimiliki perpustakaan kepada pemustakanya.
Perpustakaan perguruan tinggi yang merupakan jantung bagi kehidupan sivitas akademika, karena dengan adanya  perpustakaan dapat diperoleh data maupun informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan perencanaan serta dapat menyegarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Perpustakaan harus menjadi sarana interaktif dan menjadi tempat munculnya ide kreatif dalam berbagai hal baru yang dapat digali melalui sumber informasi yang disediakan oleh perpustakaan.
Dalam  mengembangkan citra perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi, perlu dilakukan  strategi dengan  3 (tiga) pilar citra utama yaitu 1) membangun citra perpustakaan (building image), 2) meningkatkan citra pustakawan (librarian image), 3) mengembangkan perpustakaan yang berbasis pada teknologi dan komunikasi  atau information and communication technology(ICT based). Disamping hal tersebut  pustakawan juga harus  memainkan berbagai peran, diantaranya sebagai edukator, manajer, administrator dana supervisor.
PEMBAHASAN

Sebuah organisasi atau lembaga termasuk perpustakaan dikatakan berhasil, apabila kualitas pelayanan yang diberikan kepada pemakainya telah memperoleh pengakuan dari masyarakat yang dilayaninya. Kualitas tersebut dapat dicapai oleh sebuah perpustakaan termasuk perpustakaan perguruan tinggi, dengan prestasi dan kinerja yang maksimal. Apabila perpustakaan perguruan tinggi mampu memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas kepada masyarakat di lingkungannya, maka secara tidak langsung hal itu merupakan wujud kinerja pengelola perpustakaannya yang berkualitas. Dengan adanya kinerja pustakawan perguruan tinggi yang berkualitas dalam melayani pemakai, maka tujuan yang telah ditetapkan oleh perpusakaan akan tercapai.
Perpustakaan yag baik dapat dilihat dan diukur dari keberhasilannya dalam memenuhi kebutuhan pemakainya dan  dapat melayani dengan kemampuan yang dimiliki kepada masyarakat pemakainya. Semakin baik dalam melayani pemakai, semakin tinggi penghargaan yang akan diberikan kepada perpustakaan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut hendaknya perpustakaan memiliki pustakawan yang berkualitas dan cepat tanggap dengan kebutuhan pemustakanya. Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa, library is librarian, disini terkandung makna bahwa perpustakaan bukan lagi merupakan tempat atau aspek fisik saja, tetapi lebih merupakan aktivitas yang dimotori oleh pustakwannya dalam mengembangkan perpustakaan. Keberhasilan perpustakaan tidak lagi tergantung pada besar kecilnya, gedung, koleksi, anggaran, akan tetapi tergantung pada kualitas sumber daya manusia atau pegawai perpustakaan (Lobavitz, dalam  masruri, 2002: 4). Sumber daya perpustakaan perguruan tinggi  dalam hal ini pustakawan  harus mempunyai peran yang strategis sebagai tenaga  profesional yang mampu mengakomodasi kebutuhan pemakainya dalam meningkatkan citra perpustakaan.
Menurut Pudjiono (2010:3), dalam memenuhi kebutuhan meningkatkan citra  perpustakaan perguruan tinggi, maka perpustakaan harus mempunyai strategi 3(tiga) pilar citra utama yang meliputi:
1.      Membangun citra perpustakaan (building image)

Berdasarkan    paradigm  lama    yang  kita  ketahui  bahwa  perpustakaan  sering diartikan sebagai sebuah gedung tua, gelap, pengap, sepi, bahkan kalau saja perpustakaan diakui sebagai lembaga profesional  dan tidak hanya dijadikan tempat untuk menumpuk buku, tempat yang tidak menarik untuk dikunjungi dan dianak tirikan oleh lingkungannya sendiri. Adanya paradigma  tersebut, maka  yang harus kita perhatikan adalah bagaimana  membuat pengelola perpustakaan khususnya pustakawan agar pustakawan tidak semakin merasa minder karena profesinya belum diakui oleh masyarakat di sekelilingnya.
 
      Oleh karena itu perlu adanya usaha agar tidak di pinggirkan atau dimarjinalkan, banyak perpustakaan perguruan tinggi yang mulai berbenah diri untuk meningkatkan citra perpustakaannya baik melalui pembenahan dari hal-hal yang sepele sampai pembenahan dalam skala besar. Skala kecil dengan membuat brand image perpustakaan agar dikenal orang, seperti melakukan promosi  iklan dengan membuat leaflet, marchendaise yang berlogo perpustakaan, membuat acara bedah buku, pameran buku dan juga melakukan terobosan baru dengan merubah layout perpustakaan agar menarik, bahkan ada yang sampai melakukan perubahan nama dengan menggunakan istilah asing, maupun membuat slogan-slogan layanan. 
 Tidak kalah pentingnya adanya program-program  layanan yang baru, seperti layanan pinjam antar perpustakaan perguruan tinggi, dimana pemakai dapat pinjam koleksi di perpustakaan lain, tetapi proses pinjamnya dengan petugas  perpustakaan yang meminjamkan ke perpustakaan mitranya. Dengan upaya-upaya yang dilakukan perpustakaan tersebut, secara tidak langsung  akan  meningkatkan citra di mata masyarakat baik di lingkungan sendiri maupun eksternal lembaga perpustakaan, bahkan sampai tingkat nasional. Sedangkan  peningkatan citra yang dilakukan perpustakaan dalam jangka menengah dengan pembangunan website perpustakaan dan melakukan renovasi dan penambahan ruangan sesuai kebutuhan pemustaka, misalnya adanya ruangan pribadi dengan fasilitas seperti internet, home theater dan layanan  makan dan minuman. Tidak kalah penting yang perlu dikembangkan di perpustakaan yaitu sumber informasi yang dilayankan, baik koleksi buku, koleksi jurnal, koleksi e-journal maupun koleksi muatan lokal hasil karya sivitas akademika yang sekarang telah dialihmediakan menjadi softcopy. Peningkatan citra yang harus dilakukan perpustakaan dalam skala besar yaitu dengan melakukan pembenahan gedung perpustakaan, karena banyak perpustakaan perguruan tinggi yang perpustakaannya masih bergabung dengan kantor pusat. 
 Menurut keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 234/U/2003 tentang pedoman Pendirian Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa sarana dan prasarana yang harus dimilki untuk mendirkan perguruan tinggi ialah ruang perpustakaan. Perpustakaan harus menyediakan area untuk koleksi, pengguna, petugas dan fasilitas. Pembangunan perpustakaan perguruan tinggi harus berpedoman pada pola induk kampus, dalam arti relatif, lokasinya mudah dicapai dari hampir semua bagian kampus. Bangunan gedung perpustakaan hendaknya tampil menyatu dengan bangunan yang ada dan lebih menonjol .

 Kenyamanan dan aspek perilaku pengguna harus diperhatikan dan menjadi dasar pertimbangan utama dalam merencanakan gedung perpustakaan. Pada waktu membangun gedung perpustakaan, perlu direncanakan sistem informasi  manajemen perpustakaan, baik yang berbasis manual maupun terotomasi. Penampilan bangunan harus komunikatif dan fungsional, tanpa meninggalkan ketentuan arsitektur serta unsure estetika. Sistem keamanan dan sirkulas yang terkendali hendaknya diadakan tanpa menganggu keyamanan pengguna. 
Dengan adanya peningkatan citra perpustakaan baik berskala kecil, menengah bahkan berskala besar, maka perpustakaan harusnya mempunyai harapan agar perpustakaan tidak lagi menjadi tempat yang gelap, menjemukan, tempat terasing bahkan menjadi  anak tiri di lingkungannya sendiri.

2.      Meningkatkan citra pustakawan (librarian image)
 Kita telah tahu, bahwa profesi pustakawan merupakan profesi yang belum populer dikalangan masyarakat kita, masih kalah populer dengan profesi insinyur, pengacara,  bahkan artis sekalipun. Pilihan profesi pustakawan biasanya merupakan
pilihan alternatif, dan tenaga pustakawan dipandang sebelah mata, tenaga pustakawan merupakan orang buangan. Hal itu semua menjadi penyebab buruknya citra terhadap profesi pustakawan. Walaupun yang telah kita ketahui, bahwa tenaga pustakawan merupakan  jabatan karir dan jabatan fungsional yang telah diakui oleh pemerintah dengan terbitnya surat MENPAN nomor 132 tahun 2002. 
 Dengan melihat permasalahan tersebut di atas mau  tidak mau perpustakaan perguruan tinggi harus membekali tenaga pustakawannya untuk dapat bersikap profesional dalam memberikan pelayanannya. Dalam melakukan pelayanan kepada pemustaka, pustakawan harus membuat pemustaka merasa diistimewakan dan merasa

penting karena dalam memberikan pelayanan terbaik kepada pemustaka harus berorientasi kepada kepentingan pemustaka, sehingga akan mampu memberikan kepuasan yang optimal (Majid, Suharto Abdul, 2009).   Upaya dalam memberikan pelayanan yang terbaik dapat diwujudkan apabila pustakawan dapat menonjolkan kemampuan sikap, penampilan, perhatian dan tindakan, juga tanggungjawab yang baik. 
Dalam meningkatkan kinerja dan kualitas layanan pustakawan dituntut bersikap profesional. Sikap profesionalisme  tenaga pustakawan  yang perlu diperhatikan adalah kepribadian pustakawan, kompetensi pustakawan, dan kecakapan  pustakawan. Melihat kebutuhan tersebut, tuntutan bagi  pustakawan adalah  menjadi  tenaga pustakawan ideal. Ukuran ideal yang disyaratkan yaitu apabila pustakawan  memenuhi persyaratan, seperti  yang tercantum dalam kode etik pustakawan (Hermawan, Rahman, 2006), yaitu

a) Aspek profesional, meliputi hal mengenai pustakawan yang harus  mempunyai pendidikan formal ilmu pengetahuan, pustakwan dituntut gemar membaca, terampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi kedepan, mampu menyerap ilmu, obyektif (berorientasi pada data), tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan lingkungan, mentaati etika profesi pustakwan, mempunyai motivasi tinggi, berkarya di bidang kepustakawanandan mampu melaksanakan penelitian dan penyuluhan. 

b) Aspek kepribadian dan perilaku,
meliputi pustakawan harus bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral pancasila, mempunyai tanggungjawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes, komunikasi, bersikap suka melayani, ramah dan simpatik, terbuka terhadap kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi.

 Dalam konteks pengembangan perpustakaan perguruan tinggi, yang perlu kita perhatikan  adalah  bagaimana pengembangan tenaga pustakwan untuk meningkatkan kualitas dalam  pelayanan  secara optimal. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan itu, maka  diperlukan adanya perilaku yang baik khususnya dalam berkomunikasi,

Komunikasi yang perlu dilakukan oleh seorang pustakawan yaitu bagaimana agar sumber informasi dapat diakses sesuai kebutuhan pemakinya. Disamping itu  adanya  kecenderungan dari pustakawan itu sendiri, bahwa dalam memahami pekerjaannya kurang tanggap akan kebutuhan pemakainya. Bahkan seringkali pustakawan membuat citra buruk dengan mengesampingkan kebutuhan pemakai perpustakaan khususnya sivitas akademika yang dilayaninya.  Untuk itu  perlunya  pustakawan berupaya mengembangkan kepribadian atau personalitas dalam  melakukan  pelayanan.

  Pelayanan juga mempunyai sifat universal, artinya berlaku terhadap siapa saja yang menginginkannya. Oleh karenanya, pelayanan yang memuaskan pemakai memegang peranan penting agar perpustakaan dapat eksis.
Lebih lanjut Moenir (1995:410)
mengungkapkan perwujudan pelayanan yang didambakan adalah :
1.    Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadang dibuat-buat
2.    Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa gerutu atau sindiran yang mengarah kepada permintaan sesuatu, baik dengan alasan untuk dinas maupun kesejahteraan.
3.    Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib dan tidak pandang bulu.
4.    Pelayanan yang jujur dan terus terang.
  Pendapat diatas memberikan gambaran, keberhasilan sebuah perpustakaan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sangat tergantung dari pelayanan yang diberikan kepada pemakainya. Sehingga dengan pelayanan yang baik, citra dan persepsi masyarakat terhadap perpustakaan juga akan semakin baik.
3.      Perpustakaan berbasis teknologi innformasi dan komunikasi (ICT based)
      Adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT) telah membawa perubahan dalam berbagai bidang
termasuk yang dialami oleh perpustakaan. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT based) sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas layanan dan operasional perpustakaan tentu saja telah membawa perubahan yang sangat besar di perpustakaan. Bisa kita lihat perkembangan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT) dapat kita ukur dengan digunakannya teknologi ini sebagai system informasi manajemen perpustakaan dan perpustakaan digital (digital library)
      Sistem informasi perpustakaan merupakan pengintegrasian antara bidang pekerjaan administrasi, pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, pengolahan, sirkulasi, statistik, pengelolaan kartu anggota, dan lain-lain, dan sistem ini biasa kita sebut sebagai sebuah sistem otomasi perpustakaan. Dimana hampir semua perpustakaan sudah menerapkan sistem ini untuk memudahkan dalam melakukan pelayanan kepada pemakainya. Kemudahan yang kita dapatkan dalam sistem otomasi diperpustakaan dapat kita rasakan karena adanya kemudahan dalam melakukan pekerjaan di semua lini perpustakaan.
      Sedangkan perpustakaan digital (digital library) yang dikatakan oleh Ismail Fahmi (2004)  mengatakan,  bahwa perpustakaan digital adalah sebuah sistem yang terdiri dari perangkat hardware dan software, koleksi elektronik, staf pengelola, pengguna, organisasi, mekanisme kerja, serta layanan dengan memanfaatkan berbagai jenis teknologi informasi.  Menurut Zainal A. Hasibuan (2005)  mengatakan, bahwa digital library atau sistem perpustakaa digital merupakan konsep menggunakan internet dan teknologi informasi dalam manajemen perpustakaan.
      Dalam pengembangan perpustakaan digital (digital library) bagi tenaga pengelola perpustakaan dapat membantu pekerjaan yang ada di perpustakaan melalui fungsi sistem otomasi perpustakaan, sehingga dalam proses pengelolaan perpustakaan menjadi lebih efektif dan efisien. Fungsi sistem otomasi perpustakaan menitikberatkan pada bagian pengontrolan sistem administrasi layanan secara online. Sedangkan bagi pengguna perpustakaan dapat membantu mencari sumber-sumber informasi yang diinginkan dengan menggunakan OPAC yang dapat diakses melalui internet maupun intranet, sehingga dalam temu kembali informasi dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun pemakai berada.
Implementasi dan pengembangan sebuah perpustakaan dari bentuk konvensional ke bentuk digital tentu saja memerlukan tenaga maupun biaya yang tidak sedikit, karena untuk melakukan proses digitalisasi sebuah dokumen dari bentuk hardcopy menjadi softcopy diperlukan beberapa tahap, antara lain tahap  scanning yaitu proses merubah dari bentuk cetak menjadi bentuk softcopy, kemudian proses editing, proses ini adalah pengeditan mengedit data softcopy yang siap digunakan dan disajikan oleh pemakai perpustakaan. Proses pengeditan yang dilakukan tidak hanya mengedit teks saja tetapi data dalam bentuk softcopy tersebut, diberi pengamanan agar data tidak dirubah oleh pengguna perpustakaan.
      Setelah koleksi digital siap dilayankan, maka yang harus disediakan adalah perangkat hardware berupa komputer sebagai sarana penyimpanan dan untuk melayani pemakai dalam mengakses koleksi digital. Koleksi digital dapat di akses melalui jaringan intranet maupun internet di perpustakaan. Untuk kebutuhan tersebut, maka perpustakaan tentu saja harus menyediakan jaringan baik intranet maupun internet sebagai media penelusuran sumber informasi koleksi digital.
      Dengan dikembangkan perpustakaan berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi atau information and communication technology (ICT) baik dalam sistem informasi manajemen perpustakaan maupun digital library, maka dapat memberikan layanan secara maksimal, kenyamanan, kemudahan  kepada pemakai perpustakaan, kemudahan kepada tenaga pengelola perpustakaan baik dalam layanan maupun pengolahan dan sekaligus dalam menerapkan strategi-strategi pengembangan perpustakaan. Hal ini tentu saja akan meningkatkan citra perpustakaan dalam memberikan kemudahan fasilitas layanan yang disediakan perpustakaan terhadap pemakainya.

PENUTUP
Perpustakaan sudah bukan jamannya lagi apabila dikatakan sebagai tempat gudang buku diartikan sebagai sebuah gedung tua, gelap, penggap, sepi, dan profesi pustakawan merupakan profesi yang belum populer dikalangan masyarakat bahkan profesi pustakawan biasanya merupakan pilihan alternatif, dan tenaga pustakawan dipandang sebelah mata, tenaga pustakawan merupakan orang buangan. Melihat paradigma tersebut tentu saja pengelola perpustakaan dalam hal ini pustakawan akan selalu mengembangkan dirinya sesuai kompentensi yang dibutuhkan dalam pegelolaan perpustakaan.
      Perpustakaan mempunyai peran yang sangat berarti dalam institusi lembaga yang menaunginya khususnya perpustakaan perguruan tinggi. Dengan adanya pengelolaan yang baik, perpustakaan  akan memberikan dampak yang positif bagi pemakai yang dilayaninya. Ketersediaan berbagai macam layanan dan pengetahuan di perpustakaan perguruan tinggi, akan memberikan kesempatan pemakai untuk dapat memanfaatkan dan mengembangkan pengetahuan secara mandiri. Paradigma perpustakaan perguruan tinggi saat ini yang telah menyediakan berbagai fasilitas dan akses sumber informasi yang disediakan secara online akan memberikan kemudahan pemakai perpustakaan dalam mengakses informasi yang dibutuhkan. 
      Perbaikan citra perpustakaan perguruan tinggi sebagai institusi profesional dan memberikan layanan informasi bagi komunitas kampus akan membuka cakrawala berpikir mereka, bahwa perpustakaan dapat dijadikan sebagai sarana alternatif yang digunakan untuk belajar secara mandiri. Beberapa pendekatan manajemen yang digunakan sebagai sarana untuk memperbaiki citra perpustakaan, maka digunakan strategi tiga pilar citra utama yaitu building image, librarian image, dan ICT based. Ketiga pilar tersebut memberikan alternatif berpikir untuk mengembangkan perpustakaan perguruan tinggi menjadi sebuah pusat informasi yang modern dan profesional.


Daftar Bacaan
Hoeroestijati, 2010. Peran Pustakawan Dalam Pembentukan Citra Perpustakan. Dalam http://pemasaran.wikispace.com/file/view/makalah+manajemen+pemasaran.Pdf. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2010, pukul 9.27.
Hermawan, Rachman. 2006. Etika kepustakawanan: suatu pendekatan terhadap kode etik
      pustakawan Indonesia. Jakarta:Sagung Seto.
Pudjiono. 2010. Membangun Citra: Perpustakaan Perguruan Tinggi di Indonesia
      Menuju Perpustakaan Bertaraf Internasional.  Dalam
      http://www.lib.ui.ac.id/files/pudjiono.pdf, diakses pada tanggal 13 Oktober 2010,
      pukul 12.48.
Masruri, Anis. 2002. Problematika membangun perpustakaan masa depan. Media
      Informasi, Vol.XIII, No.11, th 2002:p. 1-9. Yogyakarta:UPT Perpustakaan
      Universitas Gadjah Mada.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2004. Perpustakaan Perguruan Tinggi:Buku Pedoman. Jakara:DEPDIKNAS RI DIRJEN DIKTI.
Majid, Suharto Abdul. 2009. Customer Service Dalam Bisnis Jasa Transportasi. Jakarta:Rajawali Press.
A.S. Moenir, 1995. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara
Fahmi, Ismail. 2004. Inovasi Jaringan Perpustakaan Digital: Network of Networks NeONs). Makalah seminar dan workshop sehari perpustakaan dan informasi UniversitasMuhammadiyah Malang 4 Oktober 2004.
Hasibuan. Zainal A. 2005. Pengembangan Perpustakaan Digital: Studi Kasus Perpustakaan Universitas Indonesia. Makalah Pelatihan Pengelola Perpustakaan Perguruan Tinggi, Cisarua-Bogor, 17-18 Mei 2005.