Selasa, 02 Agustus 2016

DESAIN PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN DIGITAL
UPT PERPUSTAKAAN POLITEKNIK NEGERI SEMARANG


  1. Pendahuluan
Membangun perpustakaan digital yang efektif adalah suatu pekerjaan yang besar dan memerlukan perencanaan secara seksama, karena bukan sekedar penerapan teknologinya semata namun perlu disadari adalah bagaimana pembangunan perpustakaan digital dapat menciptakan koleksi digital yang sungguh-sungguh dapat bermanfaat. Kesadaran dari internal perpustakaan harus dibangun untuk menunjukkan bahwa perpustakaan adalah sumber primer bagi pencari informasi. Perpustakaan adalah adalah bangunan utama untuk melahirkan suatu komunitas ilmiah dan masyarakat informasi[1].
Untuk merealisasikan semua hal tersebut diatas secara terus-menerus perpustakaan harus berinovasi untuk menciptakan perpustakaan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Perpustakaan yang berorientasi pada fungsi otomasi dengan melalui komputer mainframe dengan terminal-terminal yang menggunakan jaringan-jaringan LAN (local area network) dan WAN (wide area network, adanya pemanfaatan bersama jaringan teknologi informasi, resource sharing dan laporan-laporan manajemen perpustakaan secara elektronik. Hal ini perlu dilakukan karena adanya penyebaran koleksi dari berbagai jenis bidang ilmu pengetahuan ke  perpustakaan begitu cepat. Akses masyarakat terhadap koleksi tercetak menjadi mudah dan murah.
Melihat fenomena masyarakat informasi sekarang maka perlunya dibangun adanya perpustakaan digital. Perpustakaan digital yang dikemukakan oleh Gladney[2] bahwa perpustakaann yang harus memenuhi atau menyediakan semua jasa esensial dari jasa perpustakaan tradisional dan juga mengeksploitasi kelebihan dan mafaat penyimpanan, penelusuran, dan komunikasi digital. Jenis perpustakaan ini harus dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang muncul di perpustakaan dengan cara efektif dan efisien.
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut maka perpustakaan khususnya di perguruan tinggi hendaknya mampu memberikan layanan informasi secara cepat dan mudah bagi  pemustakanya dengan menyediakan akses terhadap informasi dan materi-materi yang diterbitkan dalam bentuk digital atau didigitalisasikan dari bentuk tercetak, audiovisual dan bentuk-bentuk lainnya.
Koleksi di perguruan tinggi yang umumnya berupa koleksi lokal yang merupakan koleksi unggulan yang dihasilkan oleh sivitas akademika perguruan tinggi berupa koleksi laporan tugas akhir, skripsi, thesis, desertasi maupun hasil karya penelitian dosen. Koleksi tersebut akan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat informasi dengan melakukan penyediaan akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat informasi dengan melalui perpustakaan digital.
Akan tetapi salah satu masalah utama adalah sejauh mana perpustakaan mampu mendigitalisasikan koleksi yang ada. Karena masalah ini sangat erat kaitannya dengan manajemen koleksi lokal dan akses jangka panjang ke internet serta pemeliharaannya. Tahapan-tahapan yang perlu di rencanakan oleh perpustakaan dalam melakukan digitalisasi koleksi, dimana perpustakaan harus dapat  mengantisipasi kendala-kendala dalam pelaksanaan digitalisasi koleksi tersebut.  
Keberhasilan digitalisasi koleksi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekuatan koleksi, keunikan koleksi, arsitektur teknis dan kompetensi pengelola sistem. Perlu diperhatikan juga adanya hak kepemilikan hasil karya sivitas akademika yang perlu dilindungi agar tidak terjadi plagiarisme karya-karya koleksi local yang masih menjadi kekhawatiran bagi sebagian besar lembaga perguruan tinggi untuk dapat membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat informasi.
Dalam lingkup dunia digital, upaya preservasi merupakan proses kreasi produk digital yang memiliki nilai untuk dilestarikan sepanjang waktu. Secara teknis untuk mempermudah akses terhadap sumber informasi cukup hanya dengan menyiapkan kombinasi alat seperti scanner, komputer yang digunakan sehingga demikian kebutuhan alih media digital dapat dipenuhi. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan koleksi digital adalah bukan hanya dimana tempatnya, tetapi bagaimana pemeliharaannya.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam membangun perpustakaan digital adalah ketersediaan metadata. Metadata adalah data yang menggambarkan isi dan sifat-sifat item tertentu dalam perpustakaan digital.  Ini adalah istilah yang sudah dikenal pustakawan karena merupakan salah satu tugas dalam pengelolaan bahan pustaka. Metadata merupakan hal penting dalam perpustakaan digital karena merupakan kunci untuk penemuan dan penggunaan sumber daya dari setiap bahan pustaka.
Yang lebih penting adalah kesiapan SDM mulai dari pihak top manajer hingga staf pelaksana dalam memahami perkembangan dan fungsi teknologi  digital, sehingga ada motivasi yang cukup besar untuk memulai upaya inovatif dengan memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada secara maksimal. Untuk mengoptimalkan SDM bisa dilakukan dengan mengadakan pelatihan atau workshop yang berhubungan dengan alih media digital atau perlu adanya pendampingan dari pihak lain sebagai konsultan dan penyedia jasa (out sourcing) yang dapat memicu terwujudnya perpustakaan digital.
Untuk kebutuhan tersebut diatas maka perpustakaan politeknik Negeri Semarang dalam melakukan tugasnya sebgai penyedia  sumber informasi ilmiah perlunya melakukan desain perpustakaan sesuai tuntutan pemustaka dalam rangka mengembangkan perpustakaan digital. Tahapan yang akan dilakukan oleh perpustakaan yaitu meliputi proses penataan koleksi digital, preservasi digital, sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam bidang teknologi informasi juga memperhatikan masalah hak intelektual bagi karya sivitas akademika Politeknik Negeri Semarang.
B.       Tujuan
Tujuan kegiatan desain pengembangan perpustakaan digital di perpustakaan Politeknik Negeri Semarang adalah:
1.      Memberikan akses seluas-luasnya terhadap sumber informasi ilmiah kepada sivitas akademikaa Politeknik Negeri Semarang dan masyarakat ilmiah.
2.      Memberikan layanan secara cepat, mudah dan murah kepada sivitas akademika Politeknik Negeri Semarang dan masyarakat ilmiah.
3.      Meningkatkan budaya baca kepada sivitas akademika Politeknik Negeri Semarang dan masyarakat ilmiah.
C.      Pembahasan
Dalam pengembangan perpustakaan digital yang perlu dilakukan oleh perpustakaan yaitu dengan berpegang pada dua prinsip baru yang akan menjadi sentral, yaitu 1) koleksinya meliputi materi dari berbagai sumber dan 2) pemakai yang disajikan suatu pandangan homogen dari berbagai sumber[3]. Sumber koleksi digital disini mencakup materi yang didigitalisasikan dari bahan-bahan koleksi yaitu koleksi yang hak aksesnya telah dimiliki oleh perpustakaan yaitu koleksi lokal hasil karya sivitas akademika, materi-materi digital yang ditambahkan ke koleksi digital melalui proses pembelian berupa e-journal, e-book, dan CD-ROM.
Perpustakaan dalam melakukan proses digitalisasi perlu juga memperhatikan masalah pemeliharaan koleksi yang merupakan aktivitas sangat penting, terutama perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan dalam mendorong kegiatan tri dharma perguruan tinggi. Sehingga perlu mempertimbangkan faktor-faktor  yang menjadi pertimbangan dalam mendesain perpustakaan digital. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam membangun  perpustakaan digital[4], yaitu:
1.      Analisis kebutuhan (need analysis)
Dalam menganalisa kebetuhan untuk membangun perpustakaan digital ini, maka perlu mempertimbangkan visi dan misi perpustakaan Politeknik Negeri Semarang yaitu dengan mengacu pada visi dan misi perpustakaan tersebut, maka untuk membangun perpustakaan dugutal diperlukan infrastruktur dan tenaga yang memadai. Infrastruktur ini antara lain meliputi :
1.      Perangkat Komputer (hardware) yang berfungsi sebagai server yang menampung data informasi sumber bahan perpustakaan lokal dan software (perangkat lunak) untuk menjalankan program.
2.      Scanner alat ini berfungsi untuk mendigitalisasi koleksi laporan akhir mahasiswa, laporan penelitian dosen, dan koleksi lokal lainnya yang berupa hasil kegiatan sivitas akademika Politeknik Negeri Semarang.
3.      Provider untuk internet yang berfungsi sebagai penghubung akses dalam mencari dan menyebarluaskan informasi.
4.      Jaringantelepon yang berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan pihak-pihak terkait.
5.      Tersedianya tenaga teknis yang mengoperasikan dan berperan sebagai penghimpun, pengolah, dan mendistribusikan informasi.
2.      Studi kelayakan (feasibility study)
Setelah menentukan kebutuhan dan tujuan, maka tahap berikutnya adalah melakukan studi kelayakan yang penilaiannya meliputi 3 komponen, yaitu:
a.       Secara teknik layak (technically feasible)
Kelayakan secara teknis ini diperlukan dalam mendesain perpustakaan digital, karena dalam pengembangannya membutuhkan infrastruktur dan tenaga yang memadai seperti perangkat keras maupun perangkat lunak, provider, internet, jaringan, dan tersedianya tenaga teknis yang mengoperasikannya.. Dengan melihat pertimbangan diatas, maka perpustakaan Politeknik Negeri Semarang memfokuskan koleksi lokal yang menjadi prioritas untuk pengembangan perpustakaan digital.
b.      Secara ekonomi menguntungkan (economically profitable)
Dari penilaian mengenai aspek ekonomi yang menguntungkan perpustakaan hanya menfokuskan pada masalah optimalisasi dalam pelayanan, efektifitas dan efisien kerja, dan keberlangsungan dalam preservasi koleksi pada waktu yang lama. Sehingga dengan pertimbangan tersebut maka aspek manfaat yang akan diperoleh secara ekonomi pengembangan perpustakaan digital sangat menguntungkan perpustakaan.
c.       Secara teknis layak (socially acceptable)
Dalam melakukan desain pengembangan perpustakaan digital ini perlu dilakukan sosialisasi kepada sivitas akademika Politeknik Negeri semarang dengan melakukan berbagai cara, antara lain, melakukan pertemuan dengan para ketua jurusan, ketua program studi, badan eksekutif mahasiswa, HMJ dan pengelola perpustakaan jurusan, kegitan lain yaitu dengan melakukan survai kepada pemustaka perpustakaan. Cakupan aspek dalam analisanya perpustakaan juga mempertimbangkan dan menjunjung tinggi hukum terkait dengan UU Hak Cipta.
3.      Memilih Software
Dengan membangun perpustakaan digital, maka perlu diperhatikan mengenai software yang mudah digunakan dan familiar pada masyarakat informasi, disini perpustakaan Politeknik akan menggunakan software e-print. Pertimbangan memilih software tersebut karena tersedia gratis dan dapat diakses dengan mudah. Disamping hal tersebut diatas, pertimbagan lain dalam pemilihannya software perpustakaan yaitu:
a.       Access Point
Software yang baik adalah software yang memiliki jangkauan secara luas, dan data yang dimiliki dapat ditelusur dengan mudah.
b.      User Friendly
Software ini sangat familiar dan mudah digunakan, sehingga pemustaka dalam mengakses sumber informasi dapat menemukan dengan cepat, dan dalam waktu yang singkat.
c.       Sustainability
Membangun perpustakaan digital berarti membangun untuk tujuan jangka panjang. Untuk itu perlu diperhatikan keberlanjutan software yang akan kita beli.
d.      Price
Dalam melakukan desain pengembangan perlu diperhatikan permaslahan harga software yang akan digunakan, apabila mengandalkan software yang gratis tentunya tidak memuaskan dan kurang dapat dipercaya, karena belum tentu sesuai dengan kebutuhan perpustakaan.
e.       Antisipasi terhadap hak cipta, plagiarism, dan preservasi
Adanya Undang-undang hak cipta maka perpustakaan perlu memperhatikan adanay software yang digunakan apakah tela dilengkapi dengan perangkat anti plagiarism. Alat ini digunakan untuk memantau semua aktivitas para pencari informasi ketika mereka melakukan akses informasi mulai dari penelusuran, download dan mengirimkan e-mail akan terpantau dalam software ini. Kalau memungkinkan software yang dibeli akan lebih baik kalau dapat mendeteksi adanya virus, sehingga dapat menjaga keamanan dan keberlangsungan koleksi.
4.      Pelaksanaan
Dalam melakukan desain pembangunann perpustakaan digital perlu dibutuhkan tenaga yang mempunyai kemampuan yang memadai dan perencanaan yang matang, yaitu:
a.       Digitasi
Merupakan kegiatan proses konversi materi cetak atau analog melalui scanning menjadi materi digital atau elektronik, digital photograph, atau teknik lainnya.. Sedangkan materi yang akan dilakukan digitasi meliputi:
1.      Laporan tugas akhir mahasiswa
2.      Hasil penelitian dosen
3.      Hasil pengabdian masyarakat dosen
4.      Buku pegangan/handout
5.      Prosiding
6.      Jurnal terbita Politeknik Negeri Semarang
7.      Laporan kegiatan
8.      Laporan tahunan
9.      Dokumen penting lainnya yang merupakan hasil karya sivitas akademika Politeknik Negeri Semarang.
b.      Waktu Pelaksanaan
Proses digitasi membutuhkan waktu 2 tahun, dengan jadwal sebagai berikut:
1.      Menyusun tim pelaksana digitasi
2.      Menyusun rencana anggaran biaya
3.      Melaksanakan proses digitasi
c.       Pasca Digitasi
Pasca digitasi ini merupakan pekerjaan perpustakaan yang belum selesai karena perlu dipertimbagkan adanya keberlanjutan koleksi, bagaimana proses simpan hasil digitasi, bagaimana kalau ada perkebangan teknologi penyimpanan.


5.      Evaluasi
Evaluasi ini dilakukan mengenai pelaksanaan kegiatan dalam desain pengembangan perpustakaan digital.
Untuk tahapan berikutnya yang  perlu dipertimbangkan oleh perpustakaan dalam melakukan desain pengembagan perpustakaan digital adalah, meliputi beberapa hal, yaitu:
1.      Seleksi
Perlunya perpustakaan melakukan seleksi dalam menggunakan produk dalam perpustakaan digital, hal ini untuk mengantisipasi banyaknya penyedia layanan dalam pengembangan perpustakaan digital, biasanya penyedia konten akan menawarkan produk-produk  mereka, sehingga perpustakaan dapat mempertimbangkan apakah salah satu produk tersebut dapat digunakan dalam pengembangan perpustakaan digital di perpustakaan Politeknik Negeri Semarang. Namun beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan tahapan seleksi yaitu[5]:
a.     Apakah produk yang disediakan mampu memenuhi kebutuhan wajib yang ditentukan?;
b.     How many of the desired needs will be met by the product? Berapa banyak dari kebutuhan yang diinginkan akan dipenuhi oleh produk?;
c.     Are the standards used within the product appropriate? Apakah standar yang digunakan dalam produk?; (Details of standards for digital libraries were covered in Chapter Four).
d.     Is the user interface appropriate and easy to use and available in the necessary range of languages? Apakah user interface yang tepat dan mudah untuk digunakan dan tersedia dalam berbagai bahasa yang diperlukan? (Details of user interface issues were provided in Chapter Six).If the required language is not available, how challenging would it be to develop the interface in that language. Jika bahasa yang diperlukan tidak tersedia, bagaimana solusi untuk mengembangkan interface dalam bahasa tersebut?; For instance, having decided to acquire Endeavor's Voyager system and needing to have a bilingual (Welsh/English) interface, staff at the University of Wales Aberystwyth developed a Welsh language version of the interface.
e.     What features are available for searching and browsing the information contained within the digital library? Adakah fitur untuk pencarian dan browsing informasi yang terkandung dalam perpustakaan digital?; (Details of searching and browsing features were covered in Chapter Seven). What have been the experiences of other similar institutions in using this product?
f.      Apa lembaga-lembaga lainnya telah memiliki pengalaman dalam menggunakan produk ini? In using open source software the extra 'knowledge' needed by staff within the institution to enable that software to be implemented can be considerable. Dalam menggunakan perangkat lunak open source pengetahuan tambahan yang dibutuhkan oleh staf dalam institusi untuk memungkinkan perangkat lunak untuk diterapkan dapat dipertimbangkan. Gaining feedback from other institutions about their experiences can be very helpful. Mendapatkan umpan balik dari lembaga lain tentang pengalaman mereka bisa sangat membantu;
g.     What is the reputation of the organization providing the product? Bagaimana reputasi organisasi yang menyediakan produk?;
h.     What is the reputation of the local supplier? Apakah reputasi pemasok lokal? In instances where the product is developed by an organization in one country it may be made available in other countries by a regional or national agency. Dalam kasus di mana produk ini dikembangkan oleh sebuah organisasi di suatu negara mungkin tersedia di negara lain oleh lembaga regional atau nasional;
i.       What support is available in terms of training, documentation and online help, and is this available in the appropriate language? Dukungan apa yang tersedia dalam hal pelatihan, dokumentasi dan bantuan online, dan ini tersedia dalam bahasa yang sesuai?;
j.      What are the legal implications of using the product? Apa implikasi hukum menggunakan produk? In many cases the legal department of the institution may need to be involved in checking the licence/guarantee of service or other legal documents regarding the acquisition of the product. Dalam banyak kasus departemen hukum lembaga mungkin perlu terlibat dalam memeriksa lisensi / jaminan pelayanan atau dokumen hukum lainnya mengenai akuisisi produk.
2.      Preservasi Perpustakaan Digital
Preservasi perpustakaan digital merupakan proses memilih, mengadakan, mengolah, melayankan, serta memelihara dokumen atau data digital sehingga dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lama secara internal oleh publik sesuai dengan kaidah, norma dan kode etik yang berlaku.[6] Preservasi adalah semua kegiatan yang bertujuan memperpanjang umur bahan pustaka dan informasi yang ada di dalamnya.[7] Selain itu definisi lain juga menyebutkan preservasi digital adalah upaya memastikan agar materi digital tidak bergantung pada kerusakan dan perubahan teknologi. Secara umum preservasi digital mencakup berbagai bentuk kegiatan, mulai dari  kegiatan sederhana menciptakan tiruan (replika atau copy) dari sebuah materi digital untuk disimpan, sampai kegiatan transformasi digital yang cenderung rumit.[8]
Dalam preservasi digital kegiatan yang dilakukan merupakan pemeliharaan koleksi digital yang dapat menjamin akses jangka panjang memerlukan kebijakan dan komitmen dari perpustakaan yang tinggi. Pemeliharaan koleksi digital meliputi pemeliharaan dalam media penyimpanan, misalnya kaset, hard drive, dan flopy flash disk memiliki masa hidup relatif pendek atau cepat usang, dalam kurun waktu 2-5 tahun, selanjutnya akan tergantikan dengan teknologi yang lebih baik. Perlunya perpustakaan mengembangkan teknologi penyimpanan informasi digital dari media penyimpanan lama ke media penyimpanan yang lebih canggih.
Sedangkan mempertahankan akses ke isi dokumen (konten), apapun format filenya adalah salah satu pemeliharaan yang harus dilakukan. Apabila format file tersebut telah menjadi usang maka file harus dipindahkan dengan melakukan migrasi data. Hal inipun  akan terdapat kendala apabila dalam migrasi data belum ada standar dalam melakukan kegiatan tersebut, sehingga akan menimbulkan kerugian informasi setiap melakukan migrasi data dan format memformat media penyimpanan fisik. Untuk kebutuhan tersebut, maka perpustakaan perlu mengetahui bagimana proses dalam melakukan  preservasi digital, yaitu:
a.    Teknik Preservasi Koleksi Digital
Untuk menyelamatkan nilai informasi agar dapat dimanfaatkan dalam waktu yang relatif lebih lama lagi dan terhindar dari kerusakan terhadap koleksi digital atau elektronik, ada beberapa cara preservasi digital yang dapat dilakukan, antara lain[9]:
1.    Preservasi teknologi (technology preservation) yaitu perawatan secara seksama terhadap semua perangkat keras dan lunak yang dipakai untuk membaca dan menjalankan sebuah materi digital.
2.    Preservasi dengan cara penyegaran atau pembaruan (refreshing) dengan memperhatikan usia media (memindahkan data dari media yang satu ke media yang lain)..
3.    Preservasi  dengan cara melakukan migrasi  dan format  ulang (migration and reformating) merupakan kegiatan mengubah konfigurasi data digital tanpa mengubah kandungan isi intelektualnya.
4.    Preservasi dengan cara emulasi (emulation) yaitu proses “penyegaran” di lingkungan sistem, Artinya secara teoritis dapat dilakukan pembuatan ulang secara berkala terhadap program komputer tertentu agar dapat terus membaca data digital yang terekam dalam berbagai format dari berbagai versi.
5.    Preservasi dengan cara mengubah data digital menjadi analog, terutama untuk materi digital yang sulit diselamatkan dengan semua cara di atas.[10]
b.    Mekanisme Preservasi Digital
Preservasi digital merupakan kegiatan yang terencana dan terkelola untuk memastikan agar sebuah obyek informasi dalam keadaan baik dan dalam waktu lama (longevity) ada 2 hal yang harus diperhatikan : 1. Media penampungnya harus tahan lama (CD-Rom, tape, Disk), 2. Format isi atau informasi juga harus tahan lama, dalam arti terus dapat dibaca  (PDF, TIFF, JPEG)[11]. Preservasi digital  memerlukan praktik dan paradigma baru yang berbeda dengan preservasi obyek non digital atau buku, dimana preservasi buku  seringkali dilakukan pada satu titik waktu tertentu dalam siklus hidup buku, sedangkan preservasi digital lebih bersifat berjaga-jaga(pre-emptive) yang dilakukan  dari sejak informasi disimpan, selama informasi masih tersimpan dan dalam proses secara terus menerus.
Lavoie dan Dempsey (2004) dalam Putu Laxman Pendit[12] telah merumuskan beberapa mekanisme dalam preservasi digital sebagai berikut :
1.             Presevasi digital dilakukan secara terus menerus : berbeda dengan prservasi pada umumnya yang mana kegiatan presevasi dilakukan pada saat informasi akan mengalami kerusakan atau kepunahan. Sedangkan untuk preservasi digital harus dilakukan secara terus menerus selama obyek informasi masih tersimpan.
2.             Preservasi digital dilakukan secara Konsensus, preservasi diperlukan keputusan bersama dan kepastian tentang apa dan bagaimana preservasi  terhadap obyek dilakukan.
3.             Berbagi tanggungjawab, dalam dunia digital harus ada tanggungjawan dari produsen, setidaknya dalam menentukan integritas obyek tersebut.
4.             Preservasi digital dilakukan dengan melalui seleksi, dimana sebelum dilakukan preservasi perlu diadakan seleksi secara bersama terhadap obyek mana yang perlu dan penting untuk dilakukan prservasi dan mana yang sekiranya tidak perlu dan penting dipreservasi.
5.             Dapat didanai, proses preservasi digital harus didukung dengan penyediaan dana yang cukup, maka perlu ada cara yang baik dalam memprediksi atau merencanakan terkait dengan biaya preservasi yang dibutuhkan. 
6.             Preservasi digital merupakan kegiatan koperatif, ini merupakan bagian kegiatan  kerjasama antar lembaga, lintas daerah, dan bahkan lintas negara.
7.             Memerlukan legalitas, obyek digital sering menimbulkan  perdebatan tentang kepentingan individual dan kepentingan umum yang lebih besar, maka perlu dipersiapkan terkait dengan Hak Cipta, dalam hal ini perlu negosiasi antara pihak perpustakaan dengan penulis, sehingga kegiatan akan dapat dilakukan secara legal.
8.             Berpencar, aktivitas preservasi digital dapat dilakukan secara terpencar terutama terkait dengan tanggungjawab dan kerjasama lembaga.
9.             Berdampingan, preservasi digital dapat berjalan berdampingan dengan  
          kegiatan yang lainnya.
10.         Terukur dengan benar, preservasi digital yang dilakukan telah memenuhi syarat dan sesuai dengan standar.
11.          Melahirkan bisnis baru, berbeda dengan preservasi non digital, saat ini telah muncul bisnis baru yang melibatkan penjaja (vendor) khusus dibidang preservasi.
12.         Sebagai salah satu pilihan, preservasi digital biasanya menjadi salah satu pilihan dalam kegiatan preservasi informasi.
13.         Kepentingan umum, preservasi digital akan menjadikan buku menjadi milik umum dalam arti yang sesungguhnya, terutama jika tersedia lewat internet dan mudah diakses dimana saja.
3.      Metadata
Metadata merupakan data yang menggambarkan isi dan atribut dari setiap item tertentu dalam perpustakaan digital. Ini adalah konsep akrab bagi pustakawan karena itu adalah salah satu hal utama  pustakawan melakukan katalogisasi  atau membuat catatan yang menjelaskan dokumen. Pertimbangan dalam penggunaan metadata ini perlu mempertimbangkan metadata yang dapat digunakan untuk pelestarian onjek digital. Metadata ini mengandung informasi yang kita pelukan untuk mengelola dan melestarikan objek digital sepanjang waktu sambil memastikan konteks, sejarah, dan teknik yang diperlukan untuk menggunakan objek tersebut tetap berlaku.[13]
  1. Akses
Perkembangan teknologi informasi membuat orang berharap bahwa segala bentuk dan ragam informasi dapat diperoleh dengan mudah oleh siapa saja khususnya masyarakat informasi, dapat dilakukan dimana saja, dan kapan saja. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka dalam desain penngembangan perpustakaan digital juga diperlukan adanya akses. Akses merupakan salah satu kata paling penting dalam konsep dan desain dalam pengembangan perpustakaan digital[14].
Akses yang disediakan oleh perpustakaan Politeknik Negeri Semarang tentunya akan memberikan kemudahan bagi sivitas akademika untuk mendapatkan informasi yaitu bahan perpustakaan koleksi lokal maupun koleksi umum. Akses yang disediakan secara terbuka (open access), ini merupakan upaya dari perpustakaan untuk menyediakan sumber daya digital secara terbuka tanpa persyaratan untuk otentifikasii atau bayaran.
5.      Sumber Daya Manusia
Perpustakaan digital merupakan lingkungan yang menantang bagi pustakawan. Dengan tiadanya jasa fisik yang diberikan, maka peran pustakawan berubah dari fasilitator antara pemustaka dengan sumber daya informasi berubah menjadi fasislitator antara pemustaka dan sistem. Akan tetapi fenomena yang terjadi di dalam dunia perpustakaan kita, khususnya di Indonesia karenaadanya faktor  kekurangtanggapan perpustakaan dan pustakawannya dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi sehingga menyebabkan keterlambatan dalam mengadopsi teknologi yang ada. Hal tersebut disebabkan karena kekurangsiapan sumber daya manusia di perpustakaan itu sendiri. Dalam bidang perpustakaan, Abell dan Oxbrow (2001) dalam Pendit[15] pernah mengidentifikasi hambatan yang menyebabkan kurangnya keterlibatan pustakawan dan profesional informasi lainnya dalam penerapan teknologi. Untuk itu dalam mendesain perpustakaan digital diperlukan pemeriksaan terhadap kompetensi dan ketrampilan inti pustakawan yang banyak mengelola objek-objek digital. Ketrampilan inti pustakawan tersebut, meliputi:
a.         Ketrampilan yang berhubungan dengan upaya memahami pemakai, termasuk kemampuan melakukan pemetaan kebutuhan pemakai, mengenali proses informasi yang terjadi dalam diri maupun kelompok pemakai.
b.         Kemampuan mengelola sumber daya informasi, baik dari segi isi, asal, proses riset,  simpan dan temu kembali serta hubungan denga pemasok informasi.
c.         Profesi informasi harus menguasi proses penyebaran dan penyampaian informasi termasuk abstraksi, analisis, penyuntingan, desain, penerapan teknologi informasi, dan sintesa informasi didalam lingkungan digital dan internet.
d.        Kemampuan menjadi manajer berkaitan dengan pengelolaan sejumlah besar objek yang saling berhubungan atau hypertextuality.
Melihat ketrampilan yang dibutuhkan dalam pengelolaan perpustakaan digital, maka perlunya pustakawan membekali diri dengan ketrampilan dan pengetahuan mengenai perkembangan teknologi informasi.
6.      Evaluasi
Sebagaimana program dan aktivitas perpustakaan konvensional, evaluasi pembangunan perpustakaan digital secara berkala perlu dilakukan. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui seberapa besar keberadaan perpustakaan digital dapat memenuhi keinginan pemustaka. Dalam melakukan evaluasi diperlukan data pendukung berupa laporan, yang meliputi berapa jumlah rata-rata pengujung per harinya, informasi/koleksi bidang apa yang paling banyak diminati, jumlah koleksi diterima per bulan, tingkat kepuasan pelanggan, dan lainnya. Dari hasil evaluasi tersebut akan dapat diketahui seberapa efisien dan efektif dalam pemberdayaan dan pemanfaat perpustakaan digital bagi perpustakaan.
7.             Kebijakan Hak Intelektual
Kebijakan perpustakaan dalam kaitanya dengan perlindungan terhadap hak intelektual mengacu pada UU yang berlaku khususnya dalam setiap aktivitas layanan informasinya harus diperhatikan  dalam proses  pengolahan maupun pangalih-mediaan dokumen yang memperhatikan adanya kebijakan dalam pemberian toleransi dari produk hukum yang berupa aturan disiplin dan sanksi yang tegas (misalnya UU hak cipta) terhadap suatu kegiatan aktivitas lembaga tertentu (misalnya lembaga pusat dokumentasi,  perpustakaan, dan informasi) dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan sebatas ranah kewajaran..
Dalam konteks ini, UU tersebut sudah memberikan batasan dan syarat secara jelas dan tegas terhadap lembaga pengelola pusdokinfo, termasuk juga perpustakaan. Tujuannya adalah untuk melindungi setiap koleksi yang didigitalkan terhadap pelanggaran hak cipta. Dalam UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002,  istilah koleksi disebut dengan ciptaan. Penulis menegaskan bahwa pemakaian istilah koleksi atau ciptaan dianggap sama maknanya yaitu setiap hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra (Pasal 1 ayat 3). Sedangkan, koleksi digital diartikan sebagai karya cipta hasil pengalihwujudan yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Pernyataan ini diatur dalam Pasal 12 ayat 1 point (l) UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002 bahwa:
“dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup: karya terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampe, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan”.
Dalam mengelola sumber-sumber koleksi digitalnya, khusunya karya hasil penelitian dan jurnal, hendaknya perpustakaan lebih memperhatikan empat prinsip tentang kaedah atau aturan digitalisasi seperti halnya yang dikatakan oleh Pendit[16] yaitu privasi (kerahasiaan), akurasi (keaslian), properti (kepemilikan), dan keteraksesan informasi. Sebagai contoh dalam implementasi kaedah-kaedah tersebut, perpustakaan harus memperhatikan:
1.         Privasi, menyangkut kerahasiaan berarti masalah keamanan database koleksi digital, maka pada sistem jaringan perpustakaan digitalnya ditanami sistem keamanan (mosesax). Pihak perpustakaan juga memberikan batasan-batasan terhadap koleksi local content yang akan diakses, misalnya pengguna tidak dapat men-download file-nya. Tujuannya agar tidak terjadi penjiplakan atau pembajakan ciptaan digital secara besarbesaran.
2.         Properti, mengenai kewajiban serah karya cetak dan rekam yang sudah diserahkan ke perpustakaan adalah milik sepenuhnya perpustakaan, karena sudah ada kesepakatan atau lisensi di atas surat pernyataan terlebih dahulu.
3.         Akurasi atau keaslian. Hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat 1 UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002 bahwa: “informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah”. Berdasarkan pasal tersebut, maka perpustakaan dalam mendigitalkan koleksi tetap mencantumkan identitas penulis aslinya, dan tugas perpustakaan hanya mempublikasikan informasi. Misalnya, untuk keaslian identitas si penulis, dalam setiap halaman koleksi digital di bagian footer diberi tanda copyrigth atau “©”. Sebagai contoh e-jurnal “Al-Jamiah”, di bagian footer-nya disisipkan identitas aslinya yaitu”Al- Jamiah: Journal of Islamic Studies”.
4.         Hak Akses, semua koleksi local content dapat diakses secara bebas dan dapat dibaca secara keseluruhan (full text). Akan tetapi, pengguna tidak dapat men-download file digital tersebut Mengenai aspek keaslian dari identitas si penulis karya digital
Asumsinya bahwa setiap ide, gagasan, maupun pikiran yang sudah tertuang dalam bentuk karya intelektual / koleksi adalah dilindungi hak cipta, baik itu berbentuk koleksi cetak (printed) maupun elektronik (digital). Sehingga dalam menjaga agar aman dalam pelanggran hak cipta, perpustakaan Politeknik Negeri Semarang telah menyiapkan beberapa perangkat atau peraturan terulis yang isinya memuat kesepakatan dan lisensi diantara kedua belah pihak. Dengan pernyataan bahwa setiap koleksi/informasi yang sudah diterima perpustakaan itu adalah hak prerogrratif perpustakaan untuk mengalihmediakan koleksinya ke bentuk apapun tanpa adanya complain dari si penulis karya tersebut. Pernyataan tertulis itu bisa dijadikan peraturan maupun kebijakan perpustakaan untuk melindungi setiap koleksi yang dikelolanya.
Beberapa kebijakan yang diberikan perpustakaan dalam mengelola sumber daya digital, antara lain peraturan deposit, trade-secrecy, copy left, dan doktin fair use.
1.  Peraturan Deposit
Menurut Sulistiyo-Basuki[17], Undang-undang deposit adalah undang-undang yang mewajibkan setiap penerbit atau pencetak mengirimkan contoh terbitannya (biasanya dua eksemplar atau lebih) ke perpustakaan nasional atau perpustakaan lain yang ditunjuk. Tidak hanya koleksi tercetak saja yang diatur dalam peraturan tersebut, kini juga mewajibkan mengirimkan koleksi terekam seperti kaset, piringan hitam dan lembaran musik. Namun, dalam prakteknya istilah UU Deposit tidak dapat dilaksanakan secara maksimal oleh lembaga perpustakaan, karena ketentuan dan peraturan normatifnya bersifat universal, dan itupun hanya berlaku untuk Perpustakaan Nasional. Padahal, di masing-masing jenis perpustakaan memiliki peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda, serta fungsi perpustakaan dalam melayankan informasinya juga berbeda. Termasuk juga bagi Perpustakaan Perguruan Tinggi, undang-undang tersebut sangat sulit untuk diterapkan. Dengan memiliki kebijakan khusus, Perpustakaan Perguruan Tinggi dapat membuat dan mengeluarkan peraturan deposit, di mana memiliki konteks dan isi yang bersifat lokal dan kondisional.
Dengan kata lain bahwa peraturan deposit tersebut disesuaikan dengan kebutuhan kapasitas perpustakaan dalam mengelola sumber-sumber informasinya. Peraturan deposit berisi kewajiban bagi pencipta dan sekaligus pengguna untuk menyerahkan karya ciptanya, baik karya cetak atau karya rekam sesuai dengan yang ditentukan oleh perpustakaan. Kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam yang diatur dalam peraturan ini bertujuan untuk mengembangkan sumber-sumber informasi unggulan pada perpustakaan dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, dengan peraturan deposit yang dibuat oleh perpustakaan akan memiliki kebijakan dan peraturan khusus, tanpa adanya penekanan dari hak cipta. Menurut Sulistiyo-Basuki[18], ketika peraturan deposit dikaitkan dengan hak cipta maka dalam menggandakan ciptaan satu kopi harus memiliki izin terlebih dulu dengan ketentuan sebagai berikut :
1.    Kopi tersebut digunakan bukan untuk mencari untung, tetapi dibuat oleh perpustakaan untuk kepentingan umum, serta harus ada tanda copyright ”©” pada kopi ganda.
2.    Untuk karya yang tidak diterbitkan maka kopi tersebut berlaku sebagai kopi pelestarian atau sebagai substitusi bagi peminjaman ke luar perpustakaan.
3.    Kopi untuk menggantikan kopi asli yang hilang atau rusak, apabila perpustakaan tidak dapat memperoleh gantinya dengan harga wajar.
4.    Bagi artikel yang diperoleh dari perpustakaan lain maka kopi artikel tersebut hanya boleh digunakan untuk keperluan pribadi serta harus mencantumkan ketentuan hak cipta.
Terkait dengan pencantuman tanda copyright dari setiap karya, baik yang karya cetak maupun digital memiliki cara dan strategi yang khusus. Hakim  dalam http:// [19]
mengatakan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh lembaga informasi atau perpustakaan dalam mendapatkan dan mencantumkan tanda copyright pada koleksi digital, yaitu:
1.    Perpustakaan dapat mengirimkan surat kepada pengarang, penerbit atau pemegang hak cipta suatu karya agar memberikan izin kepada perpustakaan mendigitalkan hasil karyanya.
2.    Perpustakaan sering mendapatkan sumbangan laporan penelitian, makalah atau publikasi lainnya. Perpustakaan dapat menyodorkan surat perjanjian yang berisi kesediaannya penyumbang memberikan izin kepada perpustakaan untuk mendigitalkan hasil penelitian atau makalah yang disumbangkan kepada perpustakaan. Di dalam surat perjanjian tersebut juga dimuat pernyataan bahwa perpustakaan akan ikut melindungi hak cipta dari pengarang bersangkutan.
3.    Perpustakaan juga dapat melengkapi koleksi digital perpustakaan dengan mencari koleksi digital berlabel open content di internet. Open content ini memungkinkan masyarakat memanfaatkan suatu dokumen tanpa perlu takut akan hak cipta yang melekat didalamnya karena penulis atau pemilik hak cipta karya tersebut memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan hasil karnyanya.
4.    Perpustakaan harus menentukan standar file koleksi digital yang tidak memungkinkan orang untuk merubah isi dari koleksi digital. Standar file koleksi digital tersebut adalah file dalam format PDF. Stardar file jenis ini tidak memberikan kesempatan seseorang untuk melakukan editing file sehingga keaslian file tersebut dapat terjaga.
2. Trade-Secrecy
Trade-secrecy adalah pembatasan akses informasi pada sebuah organisasi yang biasanya dilakukan dengan penandatanganan persetujuan sebelumnya. Jelasnya peraturan ini adalah suatu peraturan perjanjian tentang pembatasan hak akses organisasi perpustakaan dalam memanfaatkan hak milik intelektual orang lain. Beberapa cara umum digunakan dalam mengontrol hak cipta pada sebuah akses informasi dalam perpustakaan digital yaitu:
1.    Menyediakan formulir perjanjian antara lembaga dan penulis. Penulis harus menyetujui hasil karyanya dipublikasikan secara digital oleh perpustakaan sesuai dengan aturan dan perjanjian yang berlaku.
2.    Mengedit hasil karya dengan menambahkan informasi pencipta karya tersebut, sesuai dengan persetujuan yang telah ditetapkan.
3.    Membatasi akses pengguna terhadap dokumentasi tertentu, misalnya file tertentu hanya bisa dibaca dan tidak bisa di-copy atau didownload[20].
3. Copy Left
Selain perpustakaan harus memahami hak cipta sebagai landasan kebijakan pengikat informasi digitalnya, perpustakaan juga dapat mengembangkan copy left sebagai lawan dari copyright (hak cipta). Jika copyright umumnya digunakan untuk melarang penggunaan karya intelektual tanpa seizin dari pemegang hak ciptanya, maka copy left justru memastikan bahwa setiap orang yang memperkaya intelektual tersebut dapat menggunakan, memodifikasi, dan juga meredistribusi baik karya yang asli atau karya turunannya. Dalam istilah copy left, si pencipta tidak menjelmakan hak ekonomisnya namun tetap menegakkan hak moralnya, yaitu hak pencantuman nama dalam ciptaannya.
Kandungan copy left yaitu sekumpulan lisensi yang diberikan pada setiap orang yang memiliki kopi suatu karya ilmiah untuk menjamin agar orang tersebut dapat menjalankan hak ekonomi atas karya tersebut (menggandakan, menyebarluaskan, memodifikasi) dengan syarat karya tersebut dan turunannya disebarkan dengan lisensi yang sama. Lisensi dalam copy left menjamin bahwa setiap pemilik dari kopi suatu karya digital dapat melakukan tiga hal yaitu menggunakannya tanpa pembatasan apapun, meredistribusikannya sebanyak apapun yang diinginkan, dan memodifikasinya dengan cara apapun yang dianggap memungkinkan[21].
4. Doktrin Fair Use
Terdapat pengecualian bahwa ketentuan hukum mengenai hak cipta memungkinkan penggunaan suatu ciptaan tanpa seizin dari pemegang haknya sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari si pencipta. Pengecualian tersebut bersifat limitatif dan hanya berlaku terhadap apa-apa yang tercantum dalam UU Hak Cipta. Konsepsi pengecualian ini disebut dengan doktrin penggunaan yang wajar atau fair use doctrine[22].
Inti dari doktrin ini adalah bagaimana agar tindakan dalam pengelolaan karya intelektual tersebut memiliki dasar pembenaran berdasarkan doktrin fair use setelah ada izin untuk mangalihwujudkan dan menyiarkannya di layanan perpustakaan digital. Evans [23], menyatakan bahwa terdapat beberapa kriteria ciptaan yang masuk dalam kategori peraturan doktrin fair use, antara lain:
1.    Ciptaan tersebut digunakan sesuai dengan tujuan dan karakteristiknya, misalnya untuk pendidikan non-profit dan bukan untuk komersial.
2.    Bersifat mematuhi peraturan hak cipta.
3.    Jumlah dan substansi dari bagian ciptaan yang digunakan dalam hubungan kerja secara keseluruhan tetap berpedoman pada aturan hak cipta.
4.    Pengaruh dari penggunaan ciptaan diatas untuk membuka potensi dan nilai pasar yang baik.
Menurut Pendit [24], terdapat beberapa bentuk pengecualian doktrin fair use terhadap koleksi digital juga diatur dalam Pasal 15 UU Hak Cipta No.19 Tahun 2002, yang mana menyatakan bahwa “sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan”, dan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta bila:
1.    Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan penulisan karya ilmiah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
2.    Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya atau sebagian, guna keperluan ceramah, pertunjukan dan pementasan untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, serta tidak memungut biaya yang merugikan pencipta.
3.    Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf Braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial.
4.    Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik program komputer yang dilakukan semata-semata untuk digunakan sendiri.



D.    Kesimpulan
Perkembangan dan kemajuan teknologi dalam bidang informasi, dengan  adanya penemuan jaringan internet, access, informasi dalam bentuk digital telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan perpustakaan. Sumber daya manusia perpustakaan yang mempunyai kompetensi di bidangteknologi sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan dalam pengelolaan, penyebaran, dan penyimpanan dokumen digital.
Adanya perkembangan teknologi di bidang perpustakaan menuntuk perpustakaan dan pustakawannya untuk dapat menyediakan layanan berupa akses yang cepat, mudah dan murah bagi pemustaka sivitas akdemika. Maka perlu adanya desain pengembangan perpustakaan digital baik dalam proses penataan sistem, infrastruktur, pengelolaan dokumen digital dan hak intelektual dalam rangka melindungi karya intelektual sivitas akademika Politeknik Negeri Semarang.
Kebutuhan perpustakaan digital di perpustakaan Politeknik Negeri Semarang tidak dapat ditunda lagi, sehingga perlunya pengelola perpustakaan untuk melakukan desain pengembangan perpustakaan digital untuk memberikan kemudahan akses bai sivitas akademika Politeknik Negeri Semarang dalam mendapatkan sumber informasi bahan perpustakaan local yang dimiliki perpustakaan.












DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Sulistiyo. 1993. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Davis, Hugh. Automatic extraction of Hypermedia Bundles from  the digital library. http://www.csdl.tamu.edu/DL95/papers/davis/davis.html. Diakses tanggal 17 Juli 2011, jam 21.13.
Evans, G. Edward. 2000. Developing Library and Information Center Collection: Fourth Edition. Colorado: Libraries Unlimited a Division of Greenwood Publishing Group. Inc.
Mustafa. B. 2008. Materi Kuliah Preservasi Dokumen Digital,  Bogor: Program S2 MTIP IPB 2008.
Putu Laxman Pendit. 2008 Perpustakaan Digital dari A sampai Z,  Jakarta : Cita Karyakarsa Mandiri.
Putu Laxman Pendit, 2009. Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika, Jakarta: Citra Karyakarsa Mandiri.
Pendit,Putu Laxman.2007. Perpustakaan Digital: Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Qalyubi, Syihabuddin, dkk. 2003. Dasar.dasar  ilmu perpustakaan dan  informasi.Yogyakarta:Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab.
Suprihadi, Eddy. Digitalisasi Informasi Karya Ilmiah dan Perlindungan Karya Intelektual (makalah). Disampaikan dalam seminar “Online Informasi Resource Sharing dan Digitalisasi Karya Ilmiah di Lingkungan Perguruan Tinggi”, Universitas Malang, tanggal 3 Oktober 2005.
Wendy Smith dalam Purwono, 2009. Dasar-dasar Dokumentasi : Pelestarian Dokumen. Jakarta : Universitas Terbuka.



[1] Qalyubi, Syihabuddin, dkk. 2003. Dasar.dasar  ilmu perpustakaan dan  informasi.Yogyakarta:Jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Adab.
[2] Davis, Hugh. Automatic extraction of Hypermedia Bundles from  the digital library. http://www.csdl.tamu.edu/DL95/papers/davis/davis.html. Diakses tanggal 17 Juli 2011, jam 21.13.
[3] Ibid 1
[5]  Lucy Ted andrew large (2005), digital liberaries: principle and practice in global environment. Munchen: KG. Saur

[6] Mustafa. B. 2008. Materi Kuliah Preservasi Dokumen Digital,  Bogor: Program S2 MTIP IPB,
[7] Wendy Smith dalam Purwono, 2009. Dasar-dasar Dokumentasi : Pelestarian Dokumen. Jakarta : Universitas Terbuka, hlm. 217.
[8] Putu Laxman Pendit, 2008. Perpustakaan Digital dari A sampai Z,  sJakarta : Cita Karyakarsa Mandiri, hlm. 248
[9] Putu Laxman Pendit, 2009. Perpustakaan Digital: Kesinambungan & Dinamika, Jakarta: Citra Karyakarsa Mandiri. hlm. 114
[10] Putu Laxman Pendit,  2008. Perpustakaan Digital dari A sampai Z. Jakarta : Cita Karyakarsa Mandiri. hlm. 253.
[11] Ibid9.hlm.114.
[12] Ibid9.hlm.110.
[13] Ibid9.hlm.95.
[14] Ibid10.hlm.17.
[15] Ibid9.hlm.185.

[16]   Pendit,Putu Laxman.2007. Perpustakaan Digital: Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: CV. Sagung Seto.hlm.166.

[17] Basuki, Sulistiyo. 1993. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm.44.
[18] Ibid13 . hlm.111.
[20]   Suprihadi, Eddy. Digitalisasi Informasi Karya Ilmiah dan Perlindungan Karya Intelektual (makalah). Disampaikan dalam seminar “Online Informasi Resource Sharing dan Digitalisasi Karya Ilmiah di Lingkungan Perguruan Tinggi”, Universitas Malang, tanggal 3 Oktober 2005.hlm.4.
[21]   Ibid 9 h lm.168.
[22]   Ibid 9 hlm 170
[23]   Evans, G. Edward. 2000. Developing Library and Information Center Collection: Fourth Edition. Colorado: Libraries Unlimited a Division of Greenwood Publishing Group. Inc. hlm. 528.
[24]     Ibid11 .hlm.170